REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Hakim Ali, seorang pengungsi Rohingya di kamp Kutupalong, Bangladesh mengaku sangat bosan dengan makanan-makanan yang disediakan di kamp pengungsian. Ia selalu memakan nasi dan kacang lentil yang merupakan pasokan bantuan pangan dari World Food Program (WFP).
"Saya tidak suka makan lentil dan nasi setiap hari. Saya suka makan ikan atau sayuran, satu atau dua kali seminggu. Saya rindu mencicipi ikan. Saya merasa lebih kuat saat saya makan ikan dan sayuran," ujar pria yang pernah berprofesi sebagai nelayan di Myanmar ini.
Pembatasan gerakan dan kurangnya menu makanan yang beragam telah memaksa banyak pengungsi Rohingya, seperti Ali, untuk mencari metode lain demi mendapatkan makanan yang mereka inginkan dan butuhkan. Salah satu cara utama yang mereka lakukan adalah dengan menjual bantuan pangan WFP untuk mendapatkan uang tunai.
WFP mengatakan, mereka telah memberikan bantuan kepada 882 ribu pengungsi di Bangladesh dalam distribusi makanan putaran terakhir. Namun organisasi tersebut mengakui ada keterbatasan variasi dan nilai gizi dari bantuan pangan mereka saat ini.
Sebuah survei yang dilakukan WFP dan kelompok bantuan lainnya pada akhir tahun lalu menunjukkan, jumlah kasus malnutrisi anak pengungsi Rohingya di Bangladesh sangat mengkhawatirkan. Sedikitnya 24 persen anak berusia antara enam bulan hingga empat tahun di daerah Kutupalong menderita kekurangan gizi.
Muslim Rohingya di kamp pengungsian di Kutupalong, Bangladesh.
Sebagai tanggapan dari hasil survei tersebut, WFP ingin memperbaiki keragaman makanan yang mereka tawarkan kepada pengungsi Rohingya dengan memberlakukan program e-voucher. Program ini memungkinkan para pengungsi untuk membeli 19 jenis makanan dengan kartu debit prabayar.
Namun hingga akhir tahun lalu, hanya sebagian kecil pengungsi yang ikut berpartisipasi dalam program tersebut. Menjual bantuan pangan menjadi pilihan lain bagi para pengungsi untuk bisa mendapatkan uang dan membeli ikan, sayuran, serta makanan lain di pasar terdekat.
Pengungsi Rohingya banyak menjual barang-barang bantuan di pasar tidak resmi di Bangladesh. Di jalan sempit tidak jauh dari daerah permukiman, mereka mendirikan lapak setiap malam di tempat berdebu, di belakang pasar utama di Court Bazar.
Barang-barang bantuan yang mereka jual tidak hanya bantuan pangan, seperti beras dan minyak goreng. Mereka juga menjajakan tempat sampah, piring, dan selimut yang seluruhnya memiliki logo UNFPA, IOM, UKAID, atau UNHCR.
Mereka mengaku polisi Bangladesh beberapa kali menahan sejumlah pedagang karena telah menjual kembali bantuan yang sebenarnya bisa mereka manfaatkan secara gratis. Namun mereka segera dibebaskan setelah membayar sejumlah uang.
"Dalam situasi seperti ini, para pengungsi telah kehilangan segalanya dan berjuang untuk memenuhi semua kebutuhan dasar mereka. Mungkin beberapa pengungsi akan menjual sebagian jatah makanan mereka untuk membeli barang mendesak lainnya" ujar Shelley Thakral, dari WFP Bangladesh kepada Aljazirah.
"Meskipun ini bukan niat kami, begitu makanan diberikan kepada para pengungsi, mereka yang kemudian memutuskan melakukan apa saja terhadap makanan itu," tambah dia.
Pejabat lokal mengatakan mereka mengetahui ada pengungsi yang menjual kembali barang-barang bantuan. Akan tetapi, mereka mengaku sulit mencegah agar mereka tidak melakukan hal itu.
"Ada begitu banyak informasi yang telah saya terima mengenai masalah ini dan saya telah mengirim petugas saya untuk melakukan verifikasi. Namun sebenarnya saya tidak dapat melakukan apa pun," kata Md Ali Hossain, Wakil Komisaris Distrik Cox's Bazar.