REPUBLIKA.CO.ID, Siapa yang menyangka olahan singkong bisa "go international" dari tangan pengusaha kecil? Ladang Lima, perusahaan rintisan (startup) asal Pasuruan, Jawa Timur, jadi salah satu yang berhasil mengekspor perdana hasil olahan singkong hingga ke Inggris sejak 2016.
Selain berinovasi mengolah singkong menjadi tepung serbaguna, perusahaan rintisan berpusat di Sudabaya itu juga meluncurkan produk kue kering dan tepung "premix" sambil terus memperkuat distribusi produk secara nasional. Tahun berikutnya, "startup" itu kembali melakukan ekspor ke negeri 'Big Ben' dan Amerika Serikat.
"Memang belum intens, tapi paling tidak produk kami sudah masuk ke sana," kata founder Ladang Lima, Raka Bagus, kemarin.
"Startup" yang jadi satu dari tiga pemenang Food Startup Indonesia (FSI) 2017 yang diinisiasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) itu mengolah singkong menjadi tepung olahan yang bisa diolah menjadi kue kering hingga pasta.
Menurut Raka, meski kuantitas ekspor tepung olahan singkong Ladang Lima belumlah besar, ia mengaku senang karena pasar dunia bisa menerima olahan singkong. Ia bercerita, di area tempat tinggalnya di Jawa Timur, singkong hanya diolah dengan cara digoreng, dijadikan keripik atau tape. Padahal, umbi kayu itu memiliki potensi untuk dikembangkan lantaran lebih sehat dibanding tepung terigu.
Tepung singkong olahannya telah terbukti memiliki indeks glikemik rendah sehingga cocok bagi penderita diabetes. Tepung singkong juga bebas gluten, tinggi serat, kaya zat besi dan kalsium. Lantaran diproses segera setelah panen, tepung yang dihasilkan tetap berwarna putih natural.
Singkong pun diolah dengan cara difermentasi terlebih dahulu agar menghasilkan karakter tepung yang menyerupai terigu sehingga cocok digunakan untuk bahan kue, kue kering hingga roti dan pasta. "Kami menyebutnya tepung sehat karena gizinya yang lebih baik dari tepung terigu," katanya.
Hingga saat ini, "startup" yang memiliki nama badan usaha PT Agung Bumi Agro itu memiliki fasilitas pengolahan meliputi 3,3 hektare lahan di Pasuruan dengan sekitar 100 hektare kebun singkong. Sekitar 60 persen produk Ladang Lima tersalurkan langsung ke konsumen melalui penjualan daring dan sisanya masuk ke sektor industri.
Gaet Investor
Menjadi juara kedua dalam FSI 2017 membuka peluang bagi Ladang Lima menggaet pendanaan dari investor. "Startup" tersebut berhasil meraih pendanaan dari Lima Ventura, perusahaan modal ventura yang memang aktif dalam pengembangan "startup" Indonesia.
Kendati tidak menyebut besaran investasi yang diraih, Raka menjelaskan bantuan yang diraih akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan kapasitas pemasaran dan standardisasi produksi agar bisa siap ekspor. "Jadi kami nanti bisa mengekspor produk tiap bulan," ujarnya.
Menurut dia, pasar Eropa dan Amerika Serikat menjadi pasar internasional yang ingin disasar karena tepung singkong diklaim lebih sehat dari terigu dan gandum. Sayangnya, untuk dapat melakukan ekspor, ada standar produksi khusus yang harus dipenuhi yaitu Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).
"Yang harus diubah itu tempat produksinya, harus sesuai HACCP. Tidak selalu harus jadi lebih besar. Sekarang ini kami sedang pengurusan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," tuturnya.
Dengan investasi tersebut, Raka mengatakan "startup" yang didirikan sejak 2013 itu akan fokus melakukan pembenahan produksi agar 2019 bisa siap ekspor. Ada pun tahun ini, perusahaan akan fokus mendongkrak penjualan di pasar lokal.
"Pada 2018 kami akan fokus ke pasar lokal. Dana investasi akan digunakan untuk pembenahan produksi jadi 2019 kami sudah siap ekspor," ujar Raka.
Dibina pemerintah
Ladang Lima mengikuti ajang Food Startup Indonesia (FSI) 2017 yang diinisiasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dalam upaya mendorong pengembangan usaha rintisan (startup) subsektor kuliner.
Tepung singkong (ilustrasi)
Sejak diinisiasi pada 2016, FSI tidak hanya telah menjaring 2.005 data pelaku ekonomi kreatif kuliner dari seluruh Indonesia, tetapi juga berhasil mengkurasi 150 startup kuliner Indonesia.
Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menjelaskan, FSI adalah acara yang digelar Bekraf untuk meningkatkan subsektor kuliner dengan menghubungkan "startup" kuliner kepada ekosistem kuliner terpadu serta meningkatkan akses permodalan non perbankan.
Tujuan awal kegiatan ini adalah mempertemukan talenta startup bidang kuliner dengan para investor. "Ini pitching forum," ujarnya.
Menurut Fadjar, pengembangan usaha rintisan kuliner perlu dibantu lantaran masalah yang dihadapi tidak terbatas oleh modal. Tetapi juga sertifikasi, legalitas, pengemasan hingga merek dan badan usahanya.
Diharapkan kegiatan yang diinisiasi Bekraf dapat membantu usaha rintusan bidang kuliner untuk bisa berkembang lebih baik. Ajang kompetisi para "startup" kuliner itu kembali digelar pada 2018 di mana Bekraf akan memilih 100 startup kuliner yang siap dan berkualitas untuk mengijuti rangkaian kegiatan Demoday pada Juli mendatang. Di tahapan final, usaha kuliner akan berkesempatan menarik minat potensial investor untuk berinvestasi pada bisnis mereka.
Ditambahkan Fadjar, produk pangan lokal Indonesia masih belum mendominasi dalam perdagangan online dan kalah dari produk pangan asing. Padahal, potensinya untuk bisa berkembang sangatlah besar.
Produk pangan buatan dalam negeri ditaksir hanya berontribusi sekitar 10 persen dalam perdagangan online. Sisa 90 persen masih didmonasi produk asing.
Kontribusi produk Indonesia justru berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB terus meningkat dari sekitar Rp700 triliun-Rp 750 triliun pada 2014 menjadi hingga mendekati Rp 1.000 triliun.
"Info terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) per 2017 yang belum dipublikasi, angkanya sudah mendekati Rp 1.000 triliun. Sekitar 40 persen lebih dari nilai tersebut dikontribusi subsektor kuliner," katanya.