Selasa 13 Feb 2018 06:17 WIB

KPK Ungkap Modus Baru Korupsi

Suap yang diterima Bupati Ngada diduga untuk kampanye pilkada.

Rep: Dian Fath Risalah, Febrianto A Saputro/ Red: Elba Damhuri
Bupati Ngada Marianus Sae (kiri) yang menggunakan rompi tahanan, berada di dalam mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (12/2).
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Bupati Ngada Marianus Sae (kiri) yang menggunakan rompi tahanan, berada di dalam mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Ngada Marianus Sae sebagai tersangka suap proyek di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Ngada. Penetapan tersangka itu dilakukan setelah KPK melakukan pemeriksaan selama satu hari penuh.

"KPK menetapkan tersangka MSA yang diduga sebagai penerima," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK Jakarta, Senin (12/2).

Selain Marianus, KPK juga meningkatkan status Direktur PT Sinar 99 Permai Wilhelmus Iwan Ulumbu (WIU). Marianus diduga menerima suap terkait proyek-proyek di lingkungan Pemkab Ngada yang dikerjakan WIU selaku kontraktor.

Basaria menuturkan, dalam kurun waktu akhir 2017 hingga awal 2018, Wilhelmus diduga memberikan suap sebesar Rp 4,1 miliar baik secara tunai maupun transfer ke rekening bank yang kartu ATM-nya diserahkan kepada Marianus.

Total uang, kata Basaria, baik yang ditransfer maupun diserahkan tunai oleh WIU kepada MSA, sekitar Rp 4,1 miliar. Itu antara lain diberikan pada November 2017 sebesar Rp 1,5 miliar di Jakarta, pada Desember 2017 terdapat transfer sebesar Rp 2 miliar.

Juga, jelas Barasia, pada 16 Januari 2018 diberikan cash di rumah bupati sebesar Rp 400 juta, dan 6 Februari diberikan cash di rumah bupati sebesar Rp 200 juta.

Bahkan, pada 2018 ini, Marianus telah menjanjikan sejumlah proyek kepada Wilhelmus. Wilhelmus dijanjikan bakal mendapatkan sekitar tujuh proyek pembangunan jalan maupun jembatan dengan nilai proyek Rp 54 miliar.

Menurut Basaria, pemberian suap melalui ATM merupakan model baru. Hal itu dilakukan karena dianggap lebih sulit dideteksi penegak hukum. "ATM ini memang sekarang dijadikan model yang baru karena mungkin mereka merasa lebih nyaman. Tidak perlu bawa uang Rp 1 miliar itu mungkin harus bawa dua koper dan mudah dideteksi oleh penegak hukum melalui ATM," tutur Basaria.

Pada kesempatan itu, Basaria menduga yang diterima Marianus digunakan untuk biaya kampanye. Marianus diketahui merupakan salah satu calon gubernur NTT. Ia berpasangan dengan Emmilia Nomleni dan diusung PDIP dan PKB. Mirisnya, ia tertangkap tangan sehari menjelang penetapan calon oleh KPU pada Senin (12/2) hari ini.

"Prediksi dari tim kita, kemungkinan besar dia butuh uang untuk itu. (Kampanye) sudah barang tentu memerlukan dana yang banyak," ujar Basaria di gedung KPK Jakarta, Senin (12/2).

Atas perbuatannya, Marianus dijerat Pasal 12 huruf (a) atau huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan, Iwan dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf (a) atau huruf (b) atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Marianus diketahui merupakan salah satu calon gubernur NTT. Ia berpasangan dengan Emmilia Nomleni dan diusung PDIP dan PKB.

Terkait pencalonan tersebut, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan, partainya sudah memutuskan mencabut dukungan kepada Marianus Sae untuk pilkada serentak Juni 2018 sebagai calon gubernur NTT 2018.

"Ada indikasi bahwa Marianus Sae memiliki keanggotaan ganda. Oleh karena itu, partai sudah bersikap tegas dan dan menarik dukungan kepada dirinya," katanya melalui keterangan tertulis, di Kupang, Senin.

Menurut Hasto, partai banteng moncong putih sudah menegaskan kepada para kadernya tidak akan menoleransi kader yang terjerat kasus korupsi. "Kami akan mempercepat penetapan pelanggaran disiplin berat terhadap Marianus," ujarnya pula.

Hasto mengatakan, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut dalam berbagai kegiatan selalu menekankan strategi gotong royong untuk menekan pengeluaran atau biaya. ed: muhammad hafil

Suap tak sekadar mahar

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai praktik korupsi yang dilakukan oleh pejawat kepala daerah tidak hanya disebabkan oleh mahalnya mahar politik. Oleh karena itu pihaknya harus melihat fakta lain yang berkembang sebelum pilkada. Sebab, beberapa pejabat publik lain juga terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Memang memanfaatkan mementum pilkada untuk mendapatkan banyak uang, apalagi kebutuhan biaya politik juga mahal," ujar Adnan saat dihubungi melalui pesan singkat, Senin (12/2).

Adnan menambahkan, sebenarnya tidak hanya mahar politik saja yang membebani para calon kepala daerah. Di antaranya juga uang untuk biaya saksi, biaya keperluan kampanye, bahkan money politics yang tidak sedikit. Pengakuan mantan ketua PSSI La Nyalla Mahmud Mataliti terkait mahar politik beberapa waktu lalu adalah gambarannya.

Terkait pengumpulan dana menjelang pilkada 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar memantau jalannya pilkada di semua daerah.

KPU dan Bawaslu diminta bisa lebih sensitif jika ada politik uang dalam kampanye karena bisa saja uang yang digunakan berasal dari hasil korupsi. Selain itu, KPU dan Bawaslu pun diminta menertibkan pasangan dan para pendukungnya yang melakukan kampanye menggunakan isu SARA berbau fitnah.

Menurut Tjahjo, kejadian penangkapan oleh KPK yang menimpa sejumlah kepala daerah yang akan maju dalam pilkada serentak adalah tolok ukur pengumpulan anggaran dana menjelang pemilihan umum. Ia mengatakan, masih banyak calon kepala daerah yang membiayai perjalanannya di pilkada dengan anggaran yang bersih. (debbie sutrisno/ali mansur, Pengolah: muhammad hafil).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement