Selasa 13 Feb 2018 09:25 WIB

Skenario Sistematik di Balik Kekerasan Terhadap Pemuka Agama

Presiden Jokowi mendesak kekerasan terhadap pemuka agama diusut.

Rep: Novita Intan, Debbie Sutrisno, Kiki Sakinah/ Red: Elba Damhuri
Para pemuka agama melakukan berdoa bersama saat acara World Interfaith Harmony Week 2018 yang bertajuk ‘Rukun dan Bersatu, Kita Satu, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (11/2).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Para pemuka agama melakukan berdoa bersama saat acara World Interfaith Harmony Week 2018 yang bertajuk ‘Rukun dan Bersatu, Kita Satu, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Kekerasan yang terjadi terhadap pemuka agama Islam dan Kristen belakangan ini dinilai tidak berdiri sendiri-sendiri. Ada anggapan peristiwa-peristwa itu saling mengait yang bertujuan untuk menciptakan ketegangan dan ketidakharmonisan dalam kehidupan antarumat beragama. Ada gerakan sistematik di belakang semua peristiwa ini.

 

Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Din Syamsuddin kembali mengutuk serangan terhadap sejumlah tokoh agama serta penyerangan gereja di Sleman, DIY, belakangan ini. Ia meminta masyarakat mewaspadai upaya-upaya sistematik memicu instabilitas tersebut.

Din mengatakan kejadian-kejadian tersebut sepertinya dikendalikan oleh suatu skenario sistemis yang bertujuan menyebarkan rasa takut dan pertentangan antarumat beragama dan akhirnya menciptakan instabilitas nasional. Oleh karena itu, ia mendorong aparat keamanan agar secara serius mengusut tuntas dan menyingkap siapa dan apa di balik semua kejadian itu.

Apabila kejadian-kejadian tersebut tidak segera diusut, Din menegaskan, berpotensi menimbulkan prasangka-prasangka di kalangan masyarakat yang kemudian memunculkan reaksi-reaksi yang akhirnya menciptakan kekacauan. Keadaan inilah yang diharapkan muncul oleh para pelaku perusakan keharmonisan kehidupan beragama ini.

"Kami juga berpesan kepada umat beragama tetap tenang, dapat mengendalikan diri, dan jangan terprovokasi oleh pihak yang memang sengaja ingin mengadu domba antarumat beragama," kata Din yang juga mantan Ketua Muhammadiyah itu.

Tindakan penyerangan dan juga kekerasan bukanlah bagian dari ajaran agama dan keyakinan apapun. Menurut Din, Islam mengecam setiap tindakan kekerasan dan menolak segala bentuk kekerasan.

Skenario sistemik dari tindakan kekerasan terhadap para pemuka agama akan menimbulkan kekacauan, keributan, dan saling curiga antarumat beragama dan antar-internal umat beragama juga. Jika sesuai skenario, dampak sistemik aksi kekerasan ini bisa berujung pada tindakan kekerasan lainnya yang tentu saja merugikan kehidupan beragama dan berbangsa yang selama ini berjalan harmonis.

Kekerasan kepada para pemuka agama ini terjadi di tengah proses politik Pilkada 2018 yang digelar serentak dan jelang pendaftaran calon presiden pada Agustus 2018 ini. Dampak sistemik kekerasan ini akan semakin besar jika disangkut-pautkan dengan proses politik yang sedang berjalan ini. Tujuan menciptakan negara menjadi tidak aman tergolong berhasil.

Skenario sistemik ini disampaikan juga oleh Ketua Komite III Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI Fahira Idris. Ia mengutuk keras kasus penganiayaan terhadap tokoh agama di Yogyakarta, yang menimpa Pastor Karl-Edmund Prier. Menurutnya, rentetan penganiayaan tokoh agama berpotensi mengadu domba antarumat beragama dan merusak suasana keharmonisan.

Fahira berpendapat, setelah penganiayaan terhadap ulama dan ustaz beberapa waktu lalu, kini yang menjadi korban adalah pastor. "Susah untuk tidak curiga kalau kita sedang diadu domba," kata dia.

Letupan-letupan peristiwa ini jika diabaikan akan menjadi bom waktu yang bisa disulut kapan saja. Sebab, aksi-aksi penyerangan yang menyasar para pemuka agama ini, menurut Fahira, efektif membangkitkan amarah antarumat beragama. Sekaligus, menumbuhkan rasa saling curiga dan saling tuduh.

Fahira menegaskan keadaan ini menjadi sangat efektif untuk dimanfaatkan oknum-oknum tertentu memberikan pembenaran atas klaim-klaim mereka seolah-olah Indonesia sedang dilanda wabah intoleransi di mana-mana. Yang terjadi kemudian rasa damai akan hilang.

Dari catatan Republika, ada sejumlah kejadian mengemuka yang menyasar tokoh agama belakangan ini. Pertama, penganiayaan terhadap KH Emon Umar Basyri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Kabupaten Bandung, pada 27 Januari lalu. Pihak kepolisian menyatakan pelaku tak waras.

Kemudian pada 1 Februari 2018 dengan korban Ustaz Prawoto, yang juga merupakan komandan Brigade Pimpinan Pusat Persis. Serangan oleh tetangga yang disebut mengalami gangguan kejiwaan itu mengakibatkan Prawoto meninggal.

Peristiwa terkini terjadi pada Ahad (11/2) terhadap Pastor Edmund Prier dan jemaat Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta. Pastor Edmund dan dua jemaat terluka akibat serangan menggunakan pedang tersebut. Dalam kasus yang terakhir itu, kepolisian lekas mengindikasikan pelaku terpengaruh paham radikalisme.

 

 

Jangan buat analisis dangkal

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nasir menyatakan, Muhammadiyah menuntut dengan tegas agar aparat keamanan khususnya kepolisian dan para penegak hukum untuk mengusut tuntas berbagai kasus tragis ini. Ia meminta pengusutan dilakukan secara sungguh-sungguh, objektif, dan tanpa pandang bulu sesuai koridor hukum yang berlaku. Siapa pelaku dengan motif dan tujuan yang sesungguhnya harus diungkap.

Haedar juga meminta, agar semua pihak tidak tergesa-gesa mengembangkan opini dangkal dan bias atas peristiwa-peristiwa yang menimpa tokoh dan umat beragama tersebut. Karena belum diketahui, apakah tindakan keji tersebut ada kaitannya dengan intoleransi dan radikalisme beragama atau bentuk lain dari perbuatan-perbuatan kriminal keji atau berlatar-belakang politis dan sebagainya.

Muhammadiyah berharap agar baik umat beragama maupun warga bangsa untuk tetap tenang dan tidak tersulut emosi atas kejadian teror yang menggemparkan tersebut. Ia menekankan, agar berbagai pihak, termasuk para pejabat dan elite bangsa, untuk tetap bijak dan bersikap proporsional agar tidak memperluas kecemasan dan saling curiga di tubuh bangsa.

Di samping, agar semua pihak waspada dan menaruh keprihatinan yang seksama atas kejadian-kejadian yang tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan tersebut. Ditegaskan Haedar, neraca keadilan pun tetap harus ditegakkan. Hal itu agar jangan sampai satu kasus menjadi perhatian luas secara nasional sampai ke internasional, sementara yang lainnya terabaikan.

Dalam hal ini, dia mengingatkan, agar semua elemen umat beragama dan komponen bangsa untuk bersatu melawan segala bentuk teror di negeri ini. Ia mengingatkan, agar hal itu tidak merusak kekhidmatan beribadah dan kerukunan umat beragama satu sama lain.

Menurut dia, negara tidak boleh toleran atas teror kekerasan terhadap tokoh dan umat beragama. Negara, kata dia, harus bertindak objektif dan tidak diskriminasi.

Haedar mengajak seluruh umat beragama dan warga bangsa agar makin memperkokoh persaudaraan, saling menghormati dan mencintai, serta membangun jalinan sosial yang tulus dan rukun. Hal itu demi tegaknya kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang damai, maju, dan berperadaban mulia di Indonesia.

Polri masih belum temukan benang merah

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengungkapkan, jajarannya sedianya telah melakukan koordinasi dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di berbagai daerah belakangan. Dia menilai, persoalan penyerangan ini tidak bisa langsung diindikasikan dengan tahun politik 2018 dan 2019. Hal yang lebih penting saat ini bahwa semua pihak agar meningkatkan kewaspadaan dan saling menjaga.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta aparat penegak hukum lebih serius mengungkap motif para pelaku penyerangan. Untuk mengungkap motif di balik peristiwa ini, tentu tidak cukup sebatas memberikan informasi ini dilakukan oleh orang hilang ingatan, atau tidak waras, atau gila dan seterusnya.

Tapi, kata Menag, perlu ada pengungkapan yang lebih jelas. Dengan keseriusan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus ini, ia yakin masyarakat tak akan menduga-duga motif dari peristiwa ini serta tak main hakim sendiri atau melakukan pembalasan-pembalasan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan, hingga saat ini polisi belum menemukan keterkaitan dalam serentetan penyerangan belakangan. Meski begitu, kepolisian akan mendalami dugaan itu. "Kasusnya tetap kita tangani, tapi kita tidak berhenti untuk mendalami apakah berkaitan dengan kasus lain," kata Tito di Mapolda Metro Jaya, Senin (12/2).

Tito pun meminta masyarakat untuk tetap tenang dan memercayai aparat. Ia meminta masyarakat tidak lantas terpovokasi dengan adanya serangkaian kasus ini .Jangan sampai isu ini dimanfaatkan untuk mengubah tatanan elemen masyarakat.

Presiden Jokowi menegaskan, pemerintah tak memberikan ruang bagi masyarakat yang melakukan tindak kekerasan di Tanah Air. "Jadi, sekali lagi perlu saya sampaikan, tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara kita Indonesia, apalagi dengan cara-cara kekerasan," kata Jokowi di Kementerian Luar Negeri, kemarin.

Jokowi telah menginstruksikan aparat menindak tegas para pelaku intoleransi serta menjamin penegakan hukum di Tanah Air. Saat ini, kata dia, kepolisian tengah mendalami berbagai peristiwa penyerangan terhadap para ulama pemuka agama ini.

(arif satrio nugroho/dessy suciati saputri, Pengolah: fitriyan zamzami).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement