REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pada Selasa (13/2), menyerukan diadakannya sebuah konferensi internasional untuk membahas status Yerusalem. Menurutnya, konferensi ini penting digelar guna menemukan mekanisme baru perundingan Palestina dan Israel.
"Konferensi tersebut harus mendapatkan mekanisme baru untuk pembicaraan Israel dan Palestina. Mekanisme baru ini harus mencakup Rusia, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara-negara Muslim utama dalam proses perundingan," kata Abbas seusai bertemu dengan Grand Mufti dari Rusia Rawil Gaynetdin, dikutip laman Anadolu Agency.
Abbas mengatakan, Palestina tak lagi ingin mengandalkan AS dalam proses negosiasi dengan Israel. "Kami tidak menolak AS, tapi kita tidak ingin AS menjadi mediator tunggal. Kami ingin mediasi multilateral mengikuti konferensi internasional yang bisa berlangsung baik di Moskow atau di Paris," ujarnya.
Grand Mufti Rusia Rawil Gaynetdin pun menyatakan dukungan terhadap Abbas dan rakyat Palestina. Ia menilai, keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel jelas suatu kekeliruan. Rencana AS memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, menurutnya, juga langkah yang provokatif.
"Yerusalem harus mempertahankan status resminya yang ditetapkan resolusi PBB dan didukung oleh mayoritas negara. Yerusalem Timur adalah ibu kota Palestina," kata Rawil Gaynetdin.
Abbas memang tengah melakukan kunjungan ke Rusia. Saat bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin, Abbas mengungkapkan hal serupa, yakni tentang pergantian peran AS sebagai mediator dalam negosiasi damai dengan Israel.
Sejak AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 lalu, Abbas telah menyatakan, peran AS sebagai mediator telah tersisih. Hal ini karena AS tak lagi jadi mediator yang netral karena terbukti bias dan membela kepentingan Israel.