REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tanda-tanda pertama kemunculan tradisi berceramah dapat dilihat dari aktivitas beberapa tokoh kalangan tradisionalis yang cukup termasyhur. Barbahari (329 H/941 M) meski tidak dianggap sebagai seorang penceramah, ia dikenal sebagai aktivis yang mengembangkan seni berceramah di abad ke-11.
Satu-satunya warisan intelektual Barbahari adalah karyanya tentang akidah, Syarh Kitab al-Sunnah (Uraian Seputar Kitab Sunah). Dalam buku itu ia mencela keras gerakan politik keagamaan (teologi filsafat atau kalam yang ia anggap bertentangan dengan ajaran yang murni).
Ulama besar pertama dalam seni ceramah di kalangan pengikut Hanbali adalah Abu al-Husayn Ibn Sam’un (300-387 H/912-997 M). Khotbahnya sering dikumpulkan, tapi yang masih ada saat ini hanya berupa penggalan naskah.
Ceramah-ceramahnya tentang keutamaan moral yang disampaikan di Baghdad dihadiri ulama-ulama besar. Berkat Ibn Sa’'un, seni berceramah mendapat pijakan kuat sebagai suatu kajian dan mata pelajaran khusus yang diajarkan di Masjid Jami, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan sejenis.
Seorang ulama fikih serba bisa bermazhab Hanbali, Ibn Aqil, menyebutkan ceramah merupakan salah satu bidang garapannya. Karya-karya Ibn Aqil berpengaruh besar terhadap garis pemikiran Ibn al-Jawzi. Ibn al-Jawzi mempelajari seni berceramah dari sahabat Ibn Aqil, al-Zaghuni (527 H/1132 M), yang meninggal saat al-Jawzi berusia 15 tahun.
Bisa dikatakan dalam tradisi ceramah yang berkembang di antara pengikut Hanbali, terdapat proses pewarisan dan pengaruh seorang tokoh ke tokoh lain pada generasi berikutnya. Proses semacam itu berlangsung dari abad ke-10 sampai ke-12. Pada setiap abad muncul berturut-turut penulis besar tentang ceramah, yakni Ibn Sam’un, Ibn Aqil, dan Ibn al-Jawzi.