REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Amir Majelis Mujahidin Abu Jibril menilai pasal perzinaan dan LGBT tak cukup berupa delik aduan. "Saya kira tak hanya delik aduan," kata dia dalam konferensi pers Bedah RUU KUHP terkait Masalah Keumatan di AQL Islamic Center, Jakarta, Selasa (13/2).
Menurut dia, penindakan terhadap perzinaan dan LGBT, seharusnya bisa dilakukan kepolisian tanpa ada laporan. Sehingga, menurut dia, polisi sebagai aparat penegak hukum yang memang dituntut aktif, harus menindak apabila mengetahui adanya perzinaan dan LGBT.
Ustaz Jibril kahwatir apabila pasal tersebut hanya berbentuk delik aduan tanpa ada perluasan, banyak perzinaan dan LGBT tak dilaporkan. Hal itu dikhawatirkan akan berdampak pada menyebar luasnya tindakan zina dan LGBT yang bertentangan dengan ketuhanan Yang Maha Esa.
"Sehingga (tindakan zina dan LGBT) tanpa diadukan, bisa dituntaskan persoalannya (oleh polisi)," tutur ustaz Jibril.
Panja Revisi UU KUPH membicarakan kemungkinan menghukum para pelaku Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang memenuhi unsur-unsur pidana, akan dijerat dengan hukuman maksimal 9 tahun. Anggota Panja revisi UU KUHP, Nasir Jamil mengatakan persoalan yang masih diperbincangkan terkait dengan LGBT adalah masalah lama hukuman untuk pelaku LGBT orang dewasa.
Draft yang diusulkan pemerintah adalah pelaku LGBT yang dipidana 9 tahun adalah untuk pelaku pencabulan sesama jenis di bawah umur. Sedang pencabulan sejenis yang dilakukan orang dewasa di muka umum, hanya dipidana 1,5 tahun penjara.
Draft pemerintah terkait revisi UU KUHP pasal LGBT
Tapi di panja ada wacana bahwa hukuman 9 tahun itu diberlakukan untuk pelaku LGBT sesama jenis yang sudah dewasa. "Sehingga pelaku pencabulan sesama jenis terhadap anak-anak harus lebih tinggi, misalnya 18 tahun," kata Nasir, kepada Republika.co.id, Rabu (14/2). Tidak adil kalau pencabulan terhadap anak-anak dan orang dewasa disamakan.