REPUBLIKA.CO.ID, FLORIDA -- Seseorang melancarkan tembakan di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Florida pada Rabu (14/2) pagi hingga menewaskan sejumlah orang dan membuat ratusan murid yang panik berlarian ke jalanan. Selain mereka, sejumlah murid lainnya meringkuk di ruang-ruang kelas sementara para polisi memburu pelaku.
Puluhan polisi memenuhi SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, sekitar 72 kilometer di utara Miami, setelah serangan. Tersangka penembak kemudian berhasil ditangkap pada Rabu (14/2) sore.
"Ada sejumlah korban meninggal. Ini keadaan yang mengerikan," kata Superintenden Sekolah Broward Country, Robert Runcie, kepada para wartawan.
Ia mengatakan bahwa distrik sekolah itu sebelumnya tidak mendapat peringatan apa pun soal kemungkinan ada penembak dan tidak ada bukti bahwa penembak berjumlah lebih dari satu orang. "Setidaknya ada 14 korban," kata kantor 'sheriff' Broward County di Twitter. Cuitan tidak menjelaskan apakah jumlah tersebut termasuk orang-orang yang terluka, selain yang meninggal dunia.
Murid-murid bersembunyi di ruangan kelas sampai mereka diselamatkan oleh para polisi yang mengenakan pakaian taktis, kata teman-teman dan keluarga.
Tayangan langsung televisi memperlihatkan puluhan murid sedang bergegas keluar dengan menyelip di antara para petugas penegak hukum, yang mengenakan senjata berat dan helm.
Selain itu, kendaraan-kendaraan tanggap darurat dalam jumlah banyak, termasuk mobil polisi, ambulans dan truk-truk pemadam kebakaran, terlihat bersiaga di lokasi.
Gubernur Florida Rick Scott mengatakan di Twitter bahwa ia telah menjalin kontak dengan para pejabat setempat mengenai insiden tersebut.
Penembakan itu merupakan serangan maut terbaru yang terjadi di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Pada Januari, seorang pria berusia 15 tahun menewaskan dua murid di sebuah sekolah menengah di Benton, Kentucky.
"Doa dan duka cita saya untuk para keluarga dan korban penembakan Florida yang mengerikan itu," kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Twitter.
"Tidak ada anak, guru atau siapa pun yang harus merasa tidak aman berada di sekolah Amerika."