REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ekonom dan mantan Menteri Rizal Ramli mengkritisi sikap pejabat yang enggan dikritik sehingga perlu membuat aturan dalam perundang-undangan. Sebagai pihak yang pernah merasakan otoriternya gaya pejabat masa Orde Baru, Rizal Ramli menegaskan sekarang tidak lagi zamannya pejabat antikritik.
"Kalau pejabat gak doyan dikritik, gak doyan diberimasukan, ya jadi orang biasa saja," kata Rizal Ramli usai menghadiri diskusi di DPP PAN, Rabu (14/2) malam.
Kritik Rizal Ramli ini menyorot soal rajinnya pejabat saat ini yang membuat aturan terkait pihak-pihak yang mengkritik namun berpotensi dikriminalkan. Seperti dalam Undang Undang MD3 yang memberikan hak imunitas berlebihan kepada Anggota DPR dan dalam rancanangan RKUHP soal pasal penghinaan presiden.
Rizal menambahkan ia pernah dipenjara oleh Soeharto karena dianggap menghina presiden. Padahal saat itu ia menyampaikan pendapat dan kritik kepada Soeharto atas gaya kepemimpinannya yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Bila gaya pejabat seperti ini terjadi lagi di Indonesia, menurut dia, menunjukkan Indonesia negara yang kembali ke masa kolonial. Karena aturan larangan kritik atas dasar pasal penghinaan sebenarnya dari Undang-Undang untuk Ratu Belanda, yang disebut hatzaai artikelen aturan hukum warisan kolonial di Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
"Dulu siapa yang menghina Belanda dipenjarain," ungkapnya. Dan Hatzaai Artikelen yang merupakan warisankolonial kemudian diadopsi dalam KUHP Pasal 154 dan 155. Ternyata zaman Soeharto dipakai keras, dan setelah Reformasi kita berjuang agar itu dibatalkan, karena bangsa ini tidak ingin pejabatnya menjadi otoriter.
Dan kemudian akhirnya dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya dinyatakan pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maka aturan ini ditegaskan Rizal Ramli sudah menjadi aturan usang dalam sejarah bangsa Indonesia sejak Reformasi. Jadi kalau ada pejabat yang sekarang antikritik dengan membuat undang-undang menurutnya sudah kembali ke masa kolonial.