Kamis 15 Feb 2018 16:55 WIB

MK Nilai Putusannya tak Lemahkan KPK

Putusan MK soal KPK putusan pertama dengan komposisi hakim 5:3:1

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Republika/Yasin Habibi
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) tak setuju jika Putusan No. 36/PUU-XV/2017 tentang Hak Angket DPR dianggap sebagai upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Justru, putusan tersebut dianggap memperkuat KPK dengan dibatasinya DPR dalam melakukan hak angket kepada mereka.

"Tidak termaktub sedikit pun dalam Pendapat Mahkamah yang kemudian mengesankan, putusan ini merupakan bentuk atau upaya pelemahan terhadap KPK," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono dalam konferensi pers di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (15/2).

Ia menjelaskan, di dalam Pendapat Mahkamah itu justru ditegaskan posisi KPK yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen. Walaupun, kata Fajar, hal itu tidak boleh dimaknai tidak tercakup dalam pengawasan DPR sebagai wakil rakyat.

"Putusan ini sesungguhnya menegaskan penataan hubungan kelembagaan antara DPR dengan KPK. Yang dilandasi prinsip konstitusi dan sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar paradigma check and balances berdasarkan UUD 1945," ungkapnya.

Jika mencermati putusan tersebut, Fajar menuturkan, pada dasarnya ada dua hal yang dapat disampaikan. Pertama, mahkamah pada satu sisi menegaskan hak angket sebagai hak konstitusional DPR untuk melakukan fungsi pengawasan dapat dilaksanakan. Khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dalam hal ini merupakan kewenangan KPK.

"Pada sisi lain, Mahkamah menguatkan lembaga KPK, karena meskipun menjadi obyek hak angket DPR, akan tetapi hak angket dibatasi bukan pada tugas dan kewenangan yudisial KPK, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi," jelas Fajar.

Fajar mengungkapkan, di dalam putusan No. 36/PUU-XV/2017 itu terdapat hal yang baru dan menarik bagi MK. Pendapat yang mengatakan KPK merupakan lembaga negara di ranah eksekutif, bukan hanya disampaikan oleh lima orang hakim konstitusi, melainkan enam orang hakim konstitusi.

Dalam dissenting opinion empat hakim konstitusi, lanjut Fajar, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai alasan berbeda dengan tiga hakim konstitusi lainnya. Perbedaan itu terdapat pada perihal posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Di sana Maria berpendapat, KPK termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah. Walaupun memang memiliki ciri independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

"Jadi, putusan ini merupakan putusan pertama dengan komposisi hakim 5:3:1," terang Fajar.

Menurutnya, hal itu menegaskan, dalam melihat posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, secara faktual enam hakim konstitusi berpendapat KPK termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif. Sementara tiga hakim konstitusi menyatakan KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam tiga cabang kekuasaan dalam doktrin trias politika dan tidak termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement