REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menjelaskan, berdasarkan Putusan No. 36/PUU-XV/2017, hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak dapat dilakukan ketika lembaga antirasuah itu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hasil dari ketiganya itu pun termasuk yang tak dapat diberlakukan hak angket oleh DPR RI.
"Dalam melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan itulah yang harus dimaknai KPK tidak boleh dipengaruhi kekuasaan apapun," terang Fajar dalam konferensi pers di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (15/2).
Di luar tiga fungsi itu, lanjut fajar, banyak proses bisnis yang ada di lembaga KPK, seperti mengenai sumber daya manusianya (SDM), manajemen penanganan perkara, SOP penyadapan dan seterusnya. Proses bisnis itulah hak angket dapat diberlakukan ke KPK.
"Jadi banyak bussines process di lembaga KPK itu yang tidak secara langsung berkaitan dengan ketiga hal itu tadi. Bagaimana mengatur SDM, regulasi mengenai keuangan dan seterusnya. Itu yang kemudian bisa menjadi wilayah yang bisa diangket oleh DPR," terangnya.
Fajar mengatakan, hasil dari proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pun termasuk ke dalam hal yang tak bisa dilakukan hak angket oleh DPR. Menurutnya, hasil itu tak dapat terpisahkan dari ketiga hal tersebut.
"Itu yang termasuk tidak bisa. Itu kan proses yang kemudian ada hasilnya, satu rangkaian yang tak bisa terpisahkan. Makanya MK itu membuat limitasi. Ini loh yang tidak boleh, ini loh yang dianggap sejalan dengan putusan-putusan terdahulu. Dalam melaksanakan tiga kewenangan inilah KPK tidak bisa diperngaruhi apapun," tuturnya.