REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus merintangi penyidikan Setya Novanto dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP-el, Fredrich Yunadi, mengaku heran dengan dakwaan Jaksa KPK terhadap dirinya. Lantaran menurutnya seorang tersangka dianggap jaksa tidak boleh periksa ke dokter rumah sakit tanpa konfirmasi dari rumah sakit yang sebelumnya memeriksa.
"Masa sekarang kalau periksa dokter minta surat pengantar dari dokter lainnya, dari mana, situ enggak cocok dokter A atau dokter B kan silakan, enggak ada peraturan itu," kata dia usai sidang pembacaan eksepsi di PN Tipikor Jakarta, Kamis (15/2).
Fredrich mempertanyakan, kalau seseorang tidak cocok dengan sebuah rumah sakit, lalu pindah ke rumah sakit lain, apakah harus minta surat pengantar dari dokter rumah sakit yang sebelumnya. "Enggak ada (aturan) itu tapi di sana seolah-olah dikondisikan. Loh kalau mau berobat kenapa mesti minta izin KPK," tutur dia.
Fredrich pun mengaku ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau untuk mengecek kamar. "Seorang tersangka pun apakah ada peraturan enggak boleh ke rumah sakit, kalau dia tidak dalam tahanan ya suka-suka dia mau ke mana dan sekarang itu kan suatu pertanyaan yang amat tidak masuk di akal," ujarnya.
Pada 10 Januari lalu, KPK menetapkan dua tersangka baru dalam perkara penyidikan perkara dugaan korupsi di proyek pengadaan KTP-elektronik. Dua tersangka itu adalah mantan kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi dan dokter RS Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo.
Peningkatan status dalam penanganan perkara penyidikan obstruction of justice atau dugaan tindak pidana karena keduanya dengan sengaja menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi proyek pengadaan KTP-el yang menjerat Ketua DPR RI nonaktif Setya Novanto.
Keduanya, diduga bekerja sama untuk memasukkan tersangka Novanto ke salah satu RS untuk dilakukan rawat inap, dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK terhadap tersangka Novanto.
Atas perbuatannya, keduanya dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.