REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pihak kepolisian dapat menjelaskan secara terbuka ke publik, khususnya keluarga Muhammad Jefri (MJ). Sebab keluarga punya hak untuk mengetahui sebab kematian anggota keluarganya.
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Maneger Nasution mengatakan belum tuntas penyelesaian kasus kematian Siyono, kembali muncul kasus Siyono jilid kedua. Kali ini dialami Jefri. Seperti Siyono, terduga teroris yang tewas setelah ditangkap Densus 88.
"Narasi publiknya juga hampir sama. Sriyono mati dengan narasi akibat berkelahi dengan dua orang oknum Densus 88. Sedang MJ tewas dinarasikan akibat penyakit dalam," ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Jumat (16/2).
(Baca: Polri Klaim tak Ada Tanda-Tanda Kekerasan di Tubuh Jefri)
Menurutnya, terorisme adalah musuh kemanusiaan. Hanya penanganannya harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip HAM. Kepolisian tidak diberikan mandat oleh konstitusi dan UU untuk membunuh warga negara meskipun untuk menangani terorisme.
"Dalam sistem hukum Indonesia, terduga pelaku kejahatan sekalipun harus diberi ruang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum," ucapnya.
Ia menjelaskan, kasus Siyono lebih beruntung. Komnas HAM saat itu masih berani menunaikan mandatnya. Meskipun dalam pelaksanaan mandatnya Komnas HAM membangun kemitraan strategis dengan masyarakat sipil, dalam hal ini PP Muhammadiyah.
Akhirnya, dokter forensik Muhammadiyah memastikan secara ilmiah bahwa kematian Siyono bukan akibat perkelahian. Ia mati karena kesakitan akibat beberapa tulang rusuknya patah karena benturan benda tumpul.
Sejauh ini nasib MJ kelihatannya belum seberuntung Siyono. Keluarga MJ belum dapat sinyal bahwa Komnas HAM berani menunaikan mandatnya menginvestigasi kasus yang terindikasi kuat terjadi pelanggaran HAM itu, ungkapnya.
Untuk itu, ia meminta presiden sebaiknya memerintahkan kapolri untuk menginvestigasi kasus tersebut. Komnas HAM sejatinya menunaikan mandatnya menginvestigasi kematian MJ yang terindikasi kuat sebagai pelanggaran HAM.
"Jika dibutuhkan Komnas HAM dapat membentuk tim adhoc dengan melibatkan masyarakat sipil," ungkapnya.