REPUBLIKA.CO.ID -- Ethiopia mengumumkan keadaan darurat nasional pada Jumat (16/2) atau satu hari setelah mundurnya Perdana Menteri Hailemariam Desalegn. Hailemariam Desalegn mengumumkan pengunduran diri pada Kamis (15/2).
Keputusan mundur tersebut ditengarai diambil untuk menghentika gelombang demonstrasi anti-pemerintah dan krisis politik di negara tersebut. Dewan koalisi EPRDF yang berkuasa bertemu pada hari Jumat dan memutuskan untuk memberlakukan peraturan darurat, seperti diungkapkan Lembaga Penyiaran Ethiopia yang dikelola negara seperti dikutip Reuters pada Sabtu (17/2).
Dalam pengumuman tersebut juga tidak disebutkan lamanya kondisi darurat tersebut akan berlaku. Diketahui ratusan orang tewas dalam tiga tahun terakhir kerusuhan di negara tersebut. Keadaan darurat 10 bulan yang berakhir tahun lalu juga gagal menghentikan demonstrasi, begitu juga pembebasan dari penjara ribuan pendukung oposisi.
Pemerintah mendapat tekanan karena terus melakukan demonstrasi di jalan. Dalam beberapa pekan terakhir ini telah membebaskan ratusan tahanan termasuk politisi oposisi namun demonstrasi tersebut tidak menunjukkan tanda berakhir, yang kemudian Desalegn membuat keputusan untuk mundur dengan harapan akan membantu mengakhiri tahun-tahun kerusuhan dan pergolakan politik.
Demonstrasi politik di Ethiopia dimulai di Oromia pada bulan November 2015. Protes kemudian bermunculan di wilayah Amhara. Oromia dan Amhara adalah dua kelompok etnis terbesar di negara ini. Banyak orang di komunitas ini merasa terpinggirkan karena pemerintah saat ini berkuasa pada tahun 1991.