Senin 19 Feb 2018 16:07 WIB

Hak Asuh Anak, Milik Siapa?

Ada beberapa pendapat disampaikan ulama.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Sejumlah anak bermain di kawasan pemukiman kumuh Muara Baru, Jakarta Utara (ilustrasi).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sejumlah anak bermain di kawasan pemukiman kumuh Muara Baru, Jakarta Utara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dalam kajian fikih klasik, isu terkait pengasuhan anak menjadi perbincangan yang menarik. Salah satu topik yang menjadi pusaran diskusi ialah soal status dari pengasuhan anak.

Apakah hadhanah, sebutan untuk pengasuhan di kitab-kitab fikih lama adalah hak bagi laki-laki atau perempuan? Apakah pengasuhan itu bentuk dari kewajiban atas keduanya? Atau, malah sebenarnya, pengasuhan dan didikan itu ialah hak anak yang wajib dipenuhi oleh orang tua mereka?

Prof Abd al Karim Zaidan menjelaskan kedua persoalan itu dalam bukunya al-Mufashal fi Ahkam al-Marati. Permasalahan pertama yang ia bahas ialah soal status pengasuhan itu. Ia mengutip pendapat para ulama mazhab.

Menurut mazhab Hanafi, pengasuhan anak itu adalah hak bagi ibu dan dianggap hak pula untuk si anak. Pendapat ini disampaikan oleh al-Jashash. Ia mengatakan, seorang ibu itu berhak membesarkan anak selama ia masih kecil, sekalipun tak perlu lagi asupan ASI.

Mazhab Syafii menyebut, pengasuhan anak adalah hak bagi ibu. Syekh as-Syarbini mengatakan hal itu dalam Mughni al-Muhtaj. Menurutnya, hak itu akan tetap berada di tangan ibu. Bila ia menghilang atau berhalangan seperti sakit berkepanjangan, hak itu berada di pihak nenek.

Dalam kondisi berhalangan seperti ini, ibu si anak tidak boleh dipaksa mengasuh selama yang bersangkutan tidak menanggung beban nafkah. Kecuali, jika tidak terdapat sosok ayah dan ialah pencari nafkah, ia wajib dipaksa mengasuh.

Pandangan ulama mazhab Maliki terpecah. Ada yang berpendapat pengasuhan itu adalah hak bagi ibu. Sebagian lain berpandangan pengasuhan tersebut adalah hak bagi anak. Seandainya sang ibu membatalkan haknya tersebut tanpa sebab, kemudian ia ingin mengambilnya kembali, ia tidak berhak. Ini karena hak asus tersebut adalah milik ayah, menurut pendapat yang populer. Merujuk opsi yang lain, ia bisa mengambilnya kembali.

Menurut mazhab Hanbali, jika seorang ibu menolak mengasuh, ia tidak dipaksa. Karena, mengasuh anak bukanlah kewajiban atasnya. Ini berarti bahwa pengasuhan anak bukan kewajiban bagi ibu, melainkan adalah hak. Hak tidak boleh ada pemaksaan.

Menurut Imam al-Kasani, perempuan dinilai paling laik mendidik anak karena ia dikenal dengan kelembutan dan kesabarannya. Syekh Muhammad Khatib as-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan, ibu dinilai paling pantas mendidik anak karena pada umumnya ia lebih lembut dan sabar menghadapi anak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement