REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai kebijakan proteksionisme yang diterapkan Vietnam bukan lagi mengenai pengetatan standar. Tapi, sudah mengarah pada sesuatu hal yang tidak wajar. Sebelumnya, Vietnam memberlakukan kebijakan impor baru untuk mobil penumpang yang membuat produk asal Indonesia sulit masuk negara tersebut.
"Bukan persoalan standar. Ini persoalan uji petik dalam setiap kali ekspor. Sesuatu hal yang tidak umum atau lumrah," ujar Menperin, saat ditemui wartawan di Jakarta, Senin (19/2).
Ia tak memungkiri kebijakan pengetatan impor yang dilakukan Vietnam akan sangat berdampak pada industri nasional. Karenanya, Airlangga memastikan, pemerintah akan melakukan berbagai upaya agar ekspor mobil ke Vietnam tak terhenti.
"Kementerian Perdagangan sudah berkirim surat ke kementerian di sana, diminta untuk regulasinya dipertimbangkan karena itu bagian dari non-tarif barrier. Tentu kita akan melihat langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan." Airlangga menuturkan, bagi Indonesia, Vietnam merupakan pasar ekspor mobil terbesar kedua di ASEAN, setelah Filipina.
Berbicara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan, timnya akan segera berangkat ke Vietnam untuk melakukan negosiasi terkait sertifikasi kelaikan kendaraan yang menjadi persyaratan ekspor.
Lewat Decree Nomor 116/2017/ND-CP, Vietnam mengatur sejumlah persyaratan untuk kelaikan kendaraan, termasuk emisi dan standar keselamatan. Regulasi yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2018 tersebut tidak mengakui Standar Nasional Indonesia (SNI) yang selama ini sudah diterapkan. Vietnam menganggap SNI tidak cukup memenuhi kriteria yang mereka inginkan.
Karena itu, Oke mengatakan, Indonesia akan melakukan pendekatan persuasif agar ada penyesuaian sertifikasi kelaikan kendaraan. "Mudah-mudahan semua sertifikasi yang ada di kita bisa diterima Vietnam. Tidak harus selalu sertifikasi oleh Vietnam," ujarnya.