Rabu 07 Feb 2018 18:06 WIB

Media Diimbau Gaungkan Jurnalisme Damai

Media juga harus bersikap netral dan menghindari pemberitaan berbau provokasi.

Anggota MPR RI Fraksi Partai Hanura Arief Suditomo.
Foto: mpr
Anggota MPR RI Fraksi Partai Hanura Arief Suditomo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media baik televisi, koran, media online, radio, harus menggaungkan jurnalisme damai selama berlangsungnya Pilkada Serentak 2018. Media juga harus bersikap netral dan menghindari pemberitaan berbau provokasi, apalagi SARA, demi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

“Kita sudah mempunyai kanal dan instrumen hukum seperti UU ITE, UU Pokok Pers, dan juga KUHP. Saya rasa itu harus diterapkan sesuai proporsinya dan tidak tebang pilih. Saya pikir itu tatanan yang bisa kita lakukan. Yang pasti media harus bisa mencerdaskan, bukan untuk saling mengadu domba,” ujar Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Hanura Arief Suditomo dalam siaran pers, Selasa (6/2).

Arief menambahkan bahwa penegakkan hukum itu menjadi cara terbaik untuk mengerem dan meminimalisasi terjadinya politisasi dan kampanye hitam melalui media. Dalam hal ini, ia menilai stakeholder media sudah tahu batasan-batasan itu. Karena itu ia menyerahkan etika bermedia itu ke setiap stakeholder masing-masing, apakah berita itu bisa disiarkan atau tidak.

Selain itu, ia juga mengimbau pentingnya kewajiban regulator bahwa hukum itu harus dilaksanakan dan menjadi bukti bahwa negara hadir agar hal-hal yang terkait pelanggaran terkait Pemilu bisa diatasi dalam koridor hukum. “Intinya penegakan hukum harus diterapkan tidak pandang bulu,” kata mantan news anchor dua stasiun ternama ini.

Pada kesempatan itu, Arief juga mengajak seluruh kontestasi di Pilkada Serentak 2018 untuk menggunakan cara-cara baik dan damai untuk meraih kemenangan atau memenangkan kursi. Menurutnya, apapun yang dialami, dalam Pilkada atau Pemilu pasti berujung menang dan kalah, dan pasti ada politisi yang dapat kursi dan tidak.

Dalam konteks ini, sebenarnya Pemilu atau Pilkada itu harusnya biasa-biasa saja, tapi dalam prosesnya banyak kelompok atau orang yang menggunakan cara-cara toksic (racun) yang korbannya bukan politisi tapi rakyat. Mereka itu, bisa kelompok atau perorangan pikirannya terlanjur diracuni dan terkontaminasi paham radikal yang penuh unsur SARA.

“Apakah politisi mau melakukan perbaikan terhadap situasi tersebut dengan membersihkan paham tersebut dari benak masyarakat?” tanya Arief.

Baginya, imbauan paling pas buat seluruh pihak, baik yang memilih maupun yang dipilih adalah menghindari seluruh paham atau cara-cara kotor yang pada akhirnya akan membebani, baik jangka pendek atau panjang. Pasalnya, cepat atau lambat, penderitaan akibat fitnah atau adu domba, akan berimbas pada diri masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement