REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak usah mengurusi materi khutbah. MUI juga tidak ingin masjid dipakai untuk kampanye politik praktis. Umat Islam juga sudah dewasa dalam berpolitik.
Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ustaz Zaitun Rasmin mengatakan, Bawaslu datang ke MUI untuk minta masukan. Bawaslu ingin sosialisasi tentang bahan sosialisasi untuk kampanye pilkada dan pemilu. Tapi Bawaslu juga dapat masukan dari MUI.
"MUI dan Bawaslu sepakat tentang money politic, kita sama-sama ingin pilkada dan pemilu damai," kata Ustaz Zaitun kepada Republika di Kantor MUI, Jakarta, Selasa (20/2).
Menurutnya, perlu aturan yang jelas soal itu. Semisal, nanti orang bicara tentang ajaran Islam, kemudian dilarang karena dianggap tidak boleh. Maka harus jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Sebab kalau dai, khatib, dan ulama bicara tentang perlunya memilih pemimpin Muslim dan shaleh, itu memang kewajiban mereka. Dakwah seperti itu tidak bisa dilarang. Umat Islam juga sudah dewasa dalam masalah berpolitik, masjid digunakan untuk politik praktis jarang terjadi.
"Malah kita minta Bawaslu memperketat pengawasan kepada KPU, karena bukan berita baru bahwa KPU perlu diawasi dan semua penyelenggara pemilu," ujarnya.
Sebelumnya, diberitakan Bawaslu sedang merampungkan pembahasan materi bahan sosialisasi penyelenggaraan pilkada dan pemilu. Tema materi sosialisasi tersebut adalah wawasan anti politisasi SARA dan anti politik uang. Disusun dari pendekatan keagamaan secara lintas agama.