Selasa 20 Feb 2018 22:23 WIB

Indonesia Butuh Jihad Kebangsaan

Banyak lahan jihad di Indonesia karena masih ada kemiskinan sekitar 10 persen.

Halaqoh Nasional dengan tema
Halaqoh Nasional dengan tema "Reaktualisasi Jihad Untuk Kebangsaan" di Islamic Centre, Bekasi.

REPUBLIKA.CO.ID,BEKASI -- Fenomena maraknya aksi teroris yang mengatasnakam jihad masih menjadi ancaman bagi masyarakat dan negara. 

 

Direktur Lembaga Kajian Keislaman Darul Fattah, Ustaz Alec Solechan  mengatakan adanya pembiasan  pemaknaan jihad yang melukai nilai-nilai kemanusiaan dan berlawanan dengan teks-teks ajaran Islam sendiri.

 

Menurutnya, saat ini ada yang mempertanyakan perlunya penggantian Pancasila, ingin mendirikan khilafah di Indonesia,  menjadikan Indonesia sebagai lahan jihad atau berperang, thogut dan lainnya. 

 

Padahal, lanjut Ustaz Alec,  NKRI adalah sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. "Untuk itu, perlunya reaktualisasi jihad dalam makna yang luas untuk kesejahteraan masyarakat dan bangsa," ujarnya seusai Halaqoh Nasional dengan tema "Reaktualisasi Jihad Untuk Kebangsaan" di Islamic Centre, Bekasi, seperti dalam siaran persnya kepada Republika.co.id, Selasa (20/2). 

 

Dirinya berharap adanya pelurusan pemahaman jihad yang tidak hanya bermakna perang. Selain itu, dari acara halaqoh yang diikuti perwakilan dari Ulama, tokoh masyarakat, mahasiswa, LSM, ormas dan lainnya mampu menyebarkan nilai pada keluarga dan masyarakat.  Di antaranya dengan melawan ketimpangan, kekurangan dalam masyarakat. 

 

Sehingga, tidak terjebak dalam  pemahaman jihad secara sempit. "Kita berharap kepada para peserta mampu menyebarkan Islam yang damai dan Rahmatan Lil 'Alamin. Menetralisir provokasi, tempat kajian, medsos, yang mengancam bagi kehidupan kebangsaan. Sehingga, Indonesia menjadi Negara yang kuat dan maju," ujar Ustaz Alec. 

 

Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Masykuri Abdillah mengatakan jihad memiliki makna yang luas sekali.  Menurutnya, banyak lahan jihad di Indonesia karena masih ada kemiskinan sekitar 10 persen. 

 

Belum lagi, lanjutnya, kebodohan, ketertinggalan, sosial, kesehatan, pendidikan dan lainnya. "Melawan terorisme sendiri adalah termasuk jihad. Bahkan,  menjaga keutuhan kehidupan,  kebutuhan sandang, pangan, papan juga  adalah termasuk jihad," kata Masykuri memaparkan. 

 

Menurutnya, saat ini  dikenal Islam radikal, konservatif fanatik, dan ekstrimis. Ia menilai, kelompok ekstrimis lebih berbahaya karena dalam menjalankan tujuannya dengan kekerasan dan menganggap yang lain salah. 

 

Hal serupa diutarakan Peneliti Kajian Keislaman Darul Fattah, Imdadun Rahmat. Menurutnya, para ekstrimis tersebut memiki pemahaman yang merujuk pada penafsiran teks Al-Qur'an oleh Sayyid Qutub. 

 

"Kata jihad sendiri disebut dalam Al-Qur'an sebanyak 41 kali. Namun, mereka memaknai jihad hanya melihat pada 3 ayat saja yang lebih khusus menjelaskan tentang perang dan menghapuskan teks yang lain. Yaitu, hubungan antara muslim dan non muslim, muamalah, dan lainnya," paparnya. 

 

Untuk itu, lanjut dia, perlu diwaspadai bila ada kajian atau ajaran yang mudah mengkafirkan orang lain. Pasalnya, dari pemahaman itu bisa mengarah pada aksi ekstrimis dan teroris.

 

"Padahal, jihad itu luas sekali. Seperti dalam pengadaan obat yang murah, kesehatan yang baik dan terjangkau juga bagian jihad. Yang lebih penting lagi, menjaga keutuhan agar tidak terjadi perpecahan pada masyarakat yang berbeda ras, suku, agama, dalam bingkai NKRI. Jihad kebangsaan diperlukan saat ini," katanya. 

 

Dalam kesempatan tersebut juga menghadirkan narasumber Fathuri yang menyoroti resolusi jihad NU. "Konteks saat ini adalah menghadapi permasalahan kompleks dan menjaga keutuhan NKRI. Semoga menjadi baldatun toyyibatun wa robbun ghofur, "ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement