Rabu 21 Feb 2018 07:13 WIB

Utang Luar Negeri Indonesia, Masih Aman dan Efektifkah?

Utang luar negeri terus bertambah tetapi serapan tenaga kerja tergolong rendah.

Rep: Ahmad Fikri Noor, Fuji Pratiwi/ Red: Elba Damhuri
Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Penarikan utang pemerintah pada awal tahun ini tak sebesar 2017. Penambahan utang baru lebih rendah karena penerimaan negara tumbuh lebih tinggi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, pemerintah menarik utang sebesar Rp 21,4 triliun pada Januari 2018 untuk menutup defisit anggaran. Jumlah itu, kata Sri, lebih rendah dibandingkan Januari 2017 yang sebesar Rp 82,1 triliun.

"Ini menggambarkan hal yang positif," kata Sri dalam paparan kinerja APBN di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (20/2). Tambahan utang baru tersebut didapatkan dari penerbitan surat berharga negara (SBN) neto Rp 15,5 triliun. Selain itu, berasal dari penarikan pinjaman neto Rp 5,9 triliun.

Penarikan utang baru lebih rendah karena penerimaan negara berhasil mencapai Rp 101,4 triliun atau 5,3 persen dari target penerimaan APBN 2018 yang sebesar Rp 1.894,7 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, capaian penerimaan negara tersebut tumbuh 14,7 persen.

Adapun realisasi belanja negara hingga akhir Januari 2018 tercatat sebesar Rp 138,4 triliun. Jumlah ini baru mencapai 6,2 persen dari target 2018 yang sebesar Rp 2.220,7 triliun.

Dengan begitu, ada defisit anggaran sebesar Rp 37,1 triliun pada Januari 2018. Angka itu lebih kecil dibandingkan defisit tahun sebelumnya yang sebesar minus Rp 44,9 triliun. "Jadi, ini lebih kecil karena hanya 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara tahun lalu defisit Januari mencapai 0,33 persen dari PDB," ujar Sri Mulyani.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah pada akhir Januari 2018 mencapai Rp 3.958,7 triliun. Dengan capaian tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 29,1 persen.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 rasio utang tersebut masih dalam batas aman. Dalam aturan tersebut, batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap PDB. Jumlah utang tersebut terdiri atas pinjaman dalam dan luar negeri sebesar Rp 752,3 triliun serta penerbitan SBN sebesar Rp 3.206,2 triliun.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo mengatakan, utang pemerintah terus bertambah karena pembangunan infrastruktur yang digencarkan. Namun, dia menyayangkan karena tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut terbilang rendah. Artinya, kata Dradjad, tambahan utang yang akan membebani generasi ke depan belum produktif dari sisi penciptaan lapangan kerja.

Berdasarkan kajian Indef, selama tiga tahun periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, tambahan penduduk bekerja hanya sebanyak 134,6 ribu orang di tengah masifnya pembangunan infrastruktur. Angka itu lebih rendah sekaligus lebih tinggi dibanding dua periode pemerintahan sebelumnya.

Tambahan penduduk bekerja di sektor konstruksi pada tiga tahun pertama SBY-Boediono (2010-2012) sebanyak 483,6 ribu orang dan pada tiga tahun pertama SBY-JK (2005-2007) sebanyak 94,9 ribu orang.

Menurut dia, fakta tersebut harus bisa dijadikan bahan evaluasi oleh pemerintah. "Jadi, kalau klaimnya utang dipakai untuk ekonomi produktif, produktifnya di mana?'' ungkap Dradja.

Pembangunan infrastruktur dinilai lebih banyak berupa jalan tol. Namun, infrastruktur untuk fasilitas perkotaan, seperti pembangunan gorong-gorong, trotoar, rusun, dan fasilitas publik yang banyak menyerap tenaga kerja kurang dimaksimalkan. "Ada banyak aktivitas lain yang bisa memanfaatkan tenaga kerja,'' kata Dradjad.

Berdasarkan catatan Bank Indonesia pada kuartal akhir 2017, utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai 352,2 miliar dolar AS (sekitar Rp 4.769 triliun berdasarkan kurs JISDOR Rp 13.541) atau tumbuh 10,1 persen dibandingkan periode sama pada 2016 (yoy). Perkembangan ULN ini terjadi di sektor publik maupun swasta sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Agusman menyampaikan, ULN tetap didominasi ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,1 persen dari total ULN dan pada akhir kuartal IV 2017 tumbuh 8,5 persen (yoy). Sementara itu, ULN berjangka pendek tumbuh 20,7 persen (yoy). ''Berdasarkan jangka waktu, struktur ULN Indonesia pada akhir triwulan IV 2017 terbilang aman,'' ungkap Agusman dalam keterangan tertulis pada Senin (19/2).

Menurut sektor ekonomi, posisi ULN swasta pada akhir kuartal IV 2017 terutama dimiliki oleh sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA) serta pertambangan. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,9 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pangsa pada triwulan sebelumnya sebesar 77,0 persen.

Pertumbuhan ULN pada sektor keuangan, sektor industri pengolahan, dan sektor LGA meningkat dibandingkan dengan triwulan III 2017. Di sisi lain, ULN sektor pertambangan mengalami kontraksi pertumbuhan. ''Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada kuartal IV 2017 masih terkendali. Rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal IV 2017 tercatat stabil di kisaran 34 persen,'' ungkap Agusman.

Selain itu, rasio utang jangka pendek terhadap total ULN juga relatif stabil di kisaran 13 persen. Kedua rasio ULN tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara selevel.

Bank Indonesia, lanjut Agusman, terus memantau perkembangan ULN dari waktu ke waktu untuk meyakinkan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi makro. (Pengolah: satria kartika yudha).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement