Kamis 22 Feb 2018 04:20 WIB

Bolehkah Kegiatan Keagamaan Mengganggu Ketertiban Umum?

Kegiatan keagamaan dengan syiar merupakan ibadah yang dianjurkan.

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Tabligh akbar (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Tabligh akbar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --Rakyat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Buktinya, penyelenggaraan kegiatan keagamaan di Tanah Air, khususnya DKI Jakarta, benar-benar semarak. Pengajian, taklim, tabligh akbar, istighatsah hingga peringatan hari besar, seperti maulid dan Isra Mi'raj dihadiri ribuan Muslim yang haus terhadap syiar Islam.

Pada dasarnya, kegiatan keagamaan dengan syiar seperti membaca tahlil, zikir, atau shalawat bersama merupakan ibadah yang banyak dianjurkan dalam agama Islam. Ini pun tertera da lam firman Allah SWT surah al- Ahzab ayat 41: "Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (de ngan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." Di dalam hadis pun, zikir men jadi salah satu ritual untuk men dekat kepada Allah SWT.

Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda; Allah berfirman: "Aku menurut persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat Aku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, Aku mengingatnya dalam Dzat-Ku. Apabila ia mengingat-Ku di tengah-tengah umat, mereka lebih baik dari mereka. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal Aku akan mende atinya satu hasta, apabila ia mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya satu depa. Kalau ia mendekati-Ku dengan ber jalan, Aku akan datang kepa da nya dengan berlari."

Terlepas dari adanya faktor ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum zikir, tahlil, atau shalawat ber jamaah, kegiatan tersebut ter nyata membuat syiar Islam semakin semarak. Kegiatan tabligh akbar bak hajatan pentas seni yang mengundang massa dalam jumlah besar.

Hanya, ada kalanya semangat syiar yang membara tak disertai perhatian terhadap keter tiban umum. Ada kalanya, penyelenggaraan kegiatan Islam dila ku kan hingga mengganggu lalu lintas dan mengabaikan keselamatan diri sendiri dan orang lain.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya pada 23 Agustus 2010 menjelas kan, di antara adab tahlil, zikir, atau shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW adalah kegiatan itu dilakukan dengan tidak mengganggu ketertiban umum, apalagi menyakiti atau merugikan orang lain.   Apabila tahlil, zikir, atau sha lawat yang mulia itu dilaku kan dengan mengganggu keter tib an umum, apalagi menyakiti atau merugikan orang lain, hukumnya menjadi haram.

Ini berdasarkan firman Allah SWT, sebagai berikut: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul ke bohongan dan dosa yang nyata." (QS al-Ahzab: 59).

Dalam hadis pun kita dilarang untuk membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Dari Abu Sa'id Sa'd bin Malik bin Sinan al-Khudri RA, Rasulullah SAW ber sabda, "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain."

Dalam hadis yang berbeda, di riwayatkan dari Abi Sa'id al- Khu dri dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: "Hendaknya ka lian tidak duduk-duduk di jalan. Kenapa kami tidak boleh berbuat itu? Apabila kamu tidak mengindahkan dan tetap duduk-duduk di jalan, berikan hak-haknya pe makai jalan. Apa hak bagi para pemakai jalan yang diwajibkan bagi orang yang duduk-duduk di jalan? Nabi Muhammad SAW, menjawab, "Menahan pandang an, tidak menyakiti (mengganggu), menjawab salam dan amar makruf nahi mungkar."

Berdasarkan pertimbangan yang dilansir dari fatwa MUI DKI Jakarta, tujuan utama adanya ja lan adalah untuk dilewati. Du duk-duduk di jalan untuk istirahat atau melakukan transaksi dan sejenisnya diperbolehkan, selama tidak membuat sempit (tidak mengganggu) arus lalu lintas. Hal ini tidak disyaratkan izin dari penguasa karena telah disepakati masyarakat dan tidak pernah di sangkal berbagai generasi se pan jang masa.

Dalam memaknai fatwa ini, Ketua MUI KH Amidhan menilai, perbuatan yang baik harus dila ku kan dengan cara yang baik ju ga. Jangan sampai kegiatan yang ditujukan untuk kebaikan justru menimbulkan kesulitan bagi pi hak lain. Karena itu, setiap ma sya rakat harus bisa menghormati kepentingan umum. Dia mengimbau pengajian agar jangan sam pai menutup jalan. "Yang tidak boleh itu mengganggu ketertibannya, bukan kegiatan zikirnya," kata Kiai Amidhan.

Kiai Amidhan menambahkan, kondisi di Jakarta sedikit berbeda dengan daerah lain. Di Jakarta, kata dia, masjid dibangun lebih dulu sebelum ada pelebaran jalan. Setelah ada pelebaran jalan, ha laman masjid jauh berkurang. Se bab itu, kata dia, tidak heran ka lau jamaah shalat Jumat hingga ke jalan-jalan. Bahkan, sampai menutup jalan di gang. "Tapi, ha rusnya memang jangan sampai menutup jalan," ujar dia. Wallahu a'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement