Jumat 23 Feb 2018 05:07 WIB

Elektabilitas Capres Alternatif Naik, Jokowi Prabowo Turun

Turunnya elektabilitas Jokowi dan Prabowo karena beberapa hal.

Rep: Ali Mansur, Umar Mukhtar/ Red: Elba Damhuri
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berbincang di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/11)
Foto: Halimatus Sa'diyah
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berbincang di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/11)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Elektabilitas calon presiden (capres) alternatif di luar Prabowo Subianto sebagai penantang Joko Widodo meningkat. Tiga nama capres alternatif yang elektabilitasnya naik adalah Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Berdasarkan hasil survei Media Survei Nasional (Median) pada Februari ini, elektabilitas Gatot saat ini 5,5 persen, Anies 4,5 persen, dan AHY 3,3 persen. Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengatakan, elektabilitas ketiganya naik dibandingkan pada Oktober 2017 lalu. Gatot saat itu di bawah Anies, dengan 2,8 persen, naik menjadi 5,5 persen pada Februari 2018. Sementara, Joko Widodo dan Prabowo Subianto mengalami penurunan meski kecil.

Menurut Rico, dari survei yang menggunakan populasi 1.000 responden, dengan margin of error sekitar 3,1 persen dan menggunakan metode multistage random sampling, Gatot dipilih karena tegas oleh 21,4 persen responden. Selain itu, karena pembelaan terhadap umat Islam (14,3 persen) dan juga karena diperlakukan tidak adil (10,6 persen).

“Jadi, dinilai sebagai representasi dari politik Islam yang akhir-akhir ini kita lihat. Dipecat mendadak itu juga faktor karena ada simpati yang sebesar 10,6 persen itu,\" tutur Rico di Cikini, Jakarta, Kamis (22/2).

Nama kedua, Anies Baswedan, naik menjadi 4,5 persen dari sebelumnya pada Oktober 2017 sebesar 4,4 persen. AHY juga meningkat. Dari survei terakhir pada Oktober tahun lalu di bawah satu persen, kini naik menjadi 3,3 persen. Sementara itu, elektabilitas Jokowi menurun jadi 35,0 persen dari sebelumnya pada Oktober 2017 sebesar 36,2 persen. Prabowo pun demikian. Elektabilitasnya mengalami penurunan menjadi 21,2 persen dari sebelumnya sebesar 23,3 persen.

Rico mengungkapkan, faktor elektabilitas Jokowi menurun karena dipengaruhi 37,9 persen pemilih yang menilainya tidak mampu mengatasi masalah perekonomian bangsa. Sebanyak 32,1 persen pemilih menganggap mampu dan 30,0 persen tidak menjawab.

Dalam survei tersebut, responden juga ditanyakan mengenai hal apa yang paling meresahkan kehidupan saat ini. Persentase paling tinggi, yakni 15,6 persen pemilih menganggap kesenjangan ekonomi masih menjadi masalah yang paling meresahkan. Kemudian, di bawahnya, yaitu 13,1 persen pemilih menilai harga kebutuhan pokok yang tinggi menjadi persoalan paling mencemaskan.

Pengamat komunikasi politik Universitas Brawijaya Anang Sudjoko menyarankan agar Gatot mendekati partai politik (parpol) untuk menjadi pesaing Jokowi. Sebab, Anang menilai selama ini yang menjadi kelemahan Gatot adalah belum dekat dengan parpol mana pun. "Kelemahannya sekarang pada posisi Gatot yang belum dekat dengan Parpol," ujar Anang.

Anang menambahkan, ada beberapa faktor yang membuat Gatot mendapatkan hati rakyat Indonesia. Di antaranya adalah reputasi Gatot yang sempat dikenal dekat dengan gerakan 212 dan pembela ulama. Kemudian, Gatot juga berani mengungkap rencana Kepolisian Republik Indonesia dalam hal pengadaan senjata merupakan faktor pembangun simpatik ke umat Islam.

"Kalau basis loyal tanpa jabatan sekarang ini, saya pikir tidak terlalu kuat. Hanya modal reputasi kemarin saja," ujarnya.

Gatot masih memiliki kesempatan untuk mendongkrak elektabilitasnya. Apalagi, dengan sistem demokrasi yang berbasis pada popularitas maka sangat mungkin dalam waktu satu tahun ini dibangun. Namun, dengan catatan, ada sinergi antara Gatot, media, parpol, dan komunitas.

"Selanjutnya tinggal masalah branding dan positioning Gatot yang harus digarap secara cermat," tutur Anang.

Sementara, pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menyatakan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belum bisa menjadi pesaing serius Jokowi pada pilpres 2019. Meskipun saat ini pamor Anies tengah melonjak pascapenghadangannya oleh Paspampres di Gelora Bung Karno (GBK) beberapa waktu lalu.

"Kalau untuk penantang serius Joko Widodo, belum. Tapi untuk pamornya naik, iya. Tapi yang jelas ini bisa menjadi modal bagus untuk Mas Anies. Untuk mempertahankan kesukaan publik terhadap dirinya," ujar Hendri.

Hendri menyarankan agar Anies tidak mengikuti jejak Jokowi yang meninggalkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menurut dia, seharusnya Anies menyelesaikan komitmennya selama lima tahun di DKI Jakarta. Sebab, jika Anies berhasil di DKI Jakarta maka rakyat akan lebih simpatik, bahkan dukungannya bakal melebih Jokowi saat maju di pilpres 2014 silam.

"Tapi kalau dia (Anies) mau menjadi wakil dari Jokowi, ya itu tidak apa-apa. Karena elektabilitas Anies juga masih belum kuat, bahkan masih di bawah Prabowo Subianto," ujar Hendri. (Pengolah: agus raharjo).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement