REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Forum Jurnalis Muslim (Forjim) telah menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam Mukernas tersebut, Forjim mengeluarkan beberapa rekomendasi. Di antaranya terkait UU MD3 dan RKUHP.
"Forjim menyesalkan pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) oleh DPR," ujar Ketua Umum Forjim Dudy Syabani Takdir di Mataram, NTB, Kamis (22/2) malam.
Menurut Dudy, salah satu pasal yang patut menjadi sorotan yaitu Pasal 122 huruf (k) dalam UU MD3. Dalam pasal itu disebutkan bahwa MKD (Majelis Kehormatan Dewan) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
"Pasal ini menurut beberapa ahli hukum Tata Negara sangat riskan karena dapat dengan mudah akan memidanakan orang-orang yang mengkritik (keras) DPR. Di samping kata merendahkan kehormatan dapat bersifat subyektif, juga ada batas yang tipis antara kritik dan merendahkan kehormatan," lanjut Dudy.
Karena itu, Forjim mendukung langkah-langkah yang telah dilakukan beberapa pihak untuk membawa pasal ini ke Mahkamah Konstitusi. Selain tentu saja, pasal 122 (k) ini, dapat mengganggu kemerdekaan pers seperti dijamin UU Pers No. 40 tahun 1999.
Bagi Forjim, anggota MPR/DPR/DPRD/DPD, layak untuk dikritik terus menerus bahkan dikritik keras, karena mereka mendapatkan gaji dan fasilitas yang mewah dari rakyat.
"Kami meminta kepada anggota DPR dan pemerintah untuk menghilangkan pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang penghinaan presiden," ucap Dudy.
Dalam RKUHP, pasal penghinaan presiden diatur dalam pasal 239 ayat (1). Di situ disebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang menghina presiden dan wakil presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp 500 juta).
Sementara itu, dalam pasal 239 Ayat (2) disebutkan bahwa perbuatan itu tidak merupakan penghinaan jika "jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri".
Dudy mengatakan, pasal penghinaan presiden mirip dengan Pasal 134, pasal 136, dan pasal 137 KUHP terdahulu. Pasal ini sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini Indonesia yang berbentuk Republik dan menganut asas demokrasi.
Aturan ini menurut Ahli Hukum Tata Negara awalnya adalah adaptasi dari hukum Belanda, yaitu penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu, melalui putusannya telah membatalkan norma penghinaan kepada Presiden dalam KUHP ini.
Selain itu, presiden sebenarnya bukanlah simbol negara, karena berdasarkan UU 24/2009, yang dimaksud dengan simbol negara adalah bendera, bahasa dan lambang negara Pancasila.
"Pasal ini juga dapat menghambat bagi kemerdekaan pers yang merupakan cita-cita bersama masyarakat Indonesia. Karena para wartawan dalam tugasnya, seringkali melakukan kritikan tajam kepada presiden atau wakil presiden yang tidak serius mengurus rakyatnya," kata Dudy.