REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penyerangan pemuka agama oleh pelaku yang dianggap tidak waras tidak cukup selesai dengan pengobatan. Tetap diperlukan adanya proses hukum terhadap pelaku.
"Prinsipnya, treatment lalu punishment," ujar Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, Jumat (23/2).
Dengan begitu, meski pelaku dianggap memiliki gangguan jiwa maka setelah rehabilitasi, secara berkala pelaku harus tetap dievaluasi. Nantinya, saat pelaku sudah cukup waras untuk menjalani proses hukum, maka pihak kepolisian harus menyelenggarakan pidananya.
Ia menegaskan, dengan menyimpulkan bahwa para pelaku penganiayaan dan pembunuhan pemuka agama adalah orang gila, maka masalah selesai dengan pasal 44 KUHP yang menyebutkan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena cacat kejiwaan. Padahal rasa aman dan penegakan hukum jauh lebih penting dari pengobatan yang diterima pelaku.
Diakui Reza, kepolisian seharusnya tidak hanya fokus pada pelaku. Berdasarkan pasal 491 KUHP, Polri perlu mencari dan memproses pihak-pihak yang tidak merawat para pelaku yang dianggap tidak waras.
Rangkaian penyerangan dan pembunuhan pemuka agama ini rupanya membuat sejumlah tokoh menyorotinya dengan narasi sedemikian rupa. Menurutnya, narasi yang dibangun justru memiliki kemiripan dengan situasi yang tergambar pada pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Muncullah pertanyaan, apakah rangkaian peristiwa dimaksud merupakan kriminal murni ataukah sudah bisa dikategori sebagai tindak terorisme?" katanya.
Narasi-narasi menyeramkan, bahkan sarat dengan teori konspirasi, merupakan ramifikasi masalah penganiayaan pemuka agama ke persoalan hoax. "Ini juga pidana, dan produksi hoax tampaknya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa," ujar dia.
Contohnya tokoh elit seperti ketua partai politik. Ia melanjutkan, tokoh tersebut membuat simpulan dramatis di media bahwa rangkaian peristiwa ini terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Tindakan tersebut seharusnya ditindak pihak berwajib jika dia tidak bisa menjelaskan metode dan nalar untuk sampai pada simpulannya tersebut.
Sebab, pernyataan simpulannya itu menjadi sebuah //hoax// yang justru mewabahkan rasa tidak aman masyarakat dan memanaskan resiko benturan antar kelompok.
"Nah, sebagaimana penindakan terhadap khalayak awam yang membuat dan menyebar hoax, Polri kudu tidak pandang bulu dengan menindak tegas tokoh elit yang melakukan perbuatan serupa," kata dia.
Bahkan, jika terbukti bersalah maka hukuman lebih berat harus diberikan mengingat posisi sentral tokoh tersebut di tengah publik.