REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan gizi buruk tidak serta merta hanya terkait lokasi geografis. Akan tetapi juga desain besar pemerintah dalam memerangi masalah tersebut.
"Gizi buruk ternyata tidak hanya terjadi di Asmat, Papua, tetapi juga di Tanjung Balai, Sumatera Utara," kata Saleh melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Jumat (23/2).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan kematian Fitri Fadilah, anak usia dua tahun penderita gizi buruk di Tanjung Balai, Sumatera Utara, harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat. Fitri meninggal setelah sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tengku Mansyur. Dia diperkirakan telah mengalami gizi buruk sejak dua bulan sebelumnya.
"Dari laporan masyarakat, Fitri meninggal setelah sempat dirawat beberapa saat di rumah sakit. Fitri dikabarkan tidak bisa tertolong karena tuanya terlambat sekali membawanya ke rumah sakit," tuturnya.
Fitri baru dibawa ke rumah sakit setelah mendapat bantuan dan perhatian dari masyarakat di sekitarnya. Orang tuanya tidak mampu membawa ke rumah sakit karena penghasilan mereka sebagai nelayan tidak memadai untuk biaya pengobatan.
"Apalagi, mereka mungkin tidak terdaftar sebagai keluarga penerima manfaat yang berhak mendapatkan bantuan sosial," tuturnya.
Padahal ada banyak bantuan sosial dari pemerintah untuk masyarakat miskin seperti beras sejahtera, Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar dan kartu Indonesia Sehat. Menurut Saleh, ada banyak anggaran dialokasikan setiap tahun. Namun, gizi buruk tetap masih terjadi.
"Program-program itu ternyata belum menyelesaikan masalah. Presiden Joko Widodo harus melihat dimana letak masalah sesungguhnya," katanya.
Dalam menangani masalah gizi buruk, Kementerian Kesehatan juga memiliki program pembagian biskuit ke berbagai pelosok daerah. "Bisa jadi, pembagian biskuit itu tidak efektif. Itu perlu juga dievaluasi secara baik," ujar wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumatera Utara II itu.