REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah gambar satelit baru beredar menunjukkan bagaimana pemerintah Myanmar membuldozer sisa-sisa desa yang dibakar untuk mengusir Muslim Rohingya. Foto-foto tersebut mengungkapkan puluhan permukiman kosong hancur tak bersisa.
Dilansir dari The Independent pada Jumat (24/2), kelompok hak asasi manusia beranggapan pihak berwenang menghilangkan bukti penting tentang kekejaman massa terhadap minoritas etnis Rohingya. Gambar satelit menunjukkan desa-desa di negara bagian Rakhine terbakar, usai kasus kekerasan terhadap Rohingya.
Saat itu, pasukan keamanan mengusir ratusan ribu orang Rohingya ke pengasingan, dalam operasi pembersihan yang brutal. Namun, pemerintah Myanmar dengan tegas membantah melakukan suatu hal yang salah.
Pemerintah setempat berdalih operasi militernya di Rakhine adalah tanggapan terhadap kelompok teroris yang beroperasi di wilayah tersebut. Seorang wanita berusia 18 tahun, Zubairia mengaku terkejut melihat penampakan usai kembali dari Bangladesh ke rumah lamanya di Myin Hlut.
"Sebagian besar rumah telah dibakar tahun lalu, tapi sekarang, semuanya hilang, bahkan pohonnya tidak tersisa. Mereka hanya membuldozer segalanya, saya hampir tidak bisa mengetahuinya," kata dia.
Ia menuturkan, ada sejumlah warga yang mengungsi, tetapi meninggalkan rumah dalam kondisi baik-baik saja. Namun, saat ini sudah rata dengan tanah. "Semua kenangan yang saya miliki hilang. Mereka sudah terhapus," ujar dia.
Krisis di negara bagian Rakhine dimulai pada Agustus, usai gerilyawan Rohingya meluncurkan serangkaian serangan yang belum pernah terjadi. Pasukan bersenjata Myanmar dituduh tidak hanya membakar desa-desa Muslim dengan bantuan massa Buddhis, tapi juga melakukan pembantaian massal, pemerkosaan, dan penjarahan yang meluas.
Juru kampanye mengatakan pemerintah merusak sejumlah TKP sebelum melakukan penyelidikan. Muslim Rohingya percaya, itu adalah dorongan untuk menghancurkan budaya mereka agar mereka tak kembali.
Foto udara yang baru menunjukkan setidaknya 28 desa atau dusun dibuldozer dalam radius 30 mil di sekitar Maungdaw, antara Desember dan Februari. Di beberapa area yang telah dibersihkan, kru konstruksi telah mendirikan perumahan baru dan helipad.
Lembaga Human Rights Watch mengatakan setidaknya ada 55 desa yang rusak. Myanmar melarang akses media The Independent ke negara bagian Rakhine.
Pemerintah mengklaim tengah mencoba membangun kembali wilayah yang hancur, dan selama berbulan-bulan telah memperluas jalan, memperbaiki jembatan dan membangun tempat penampungan, dengan sebuah kamp transit besar di Taungpyo, dekat perbatasan Bangladesh. Kamp tersebut dibuka bulan lalu untuk menampung pengungsi yang kembali.
Seorang administrator pemerintah Myint Khine mengatakan beberapa rumah baru diperuntukkan bagi umat Islam. Namun, nyatanya hal itu tak terjadi. Beberapa pihak malah merebut lahan orang Rohingya yang selama beberapa generasi ditinggali.
Sebuah daftar pemerintah pada Desember menunjukkan 787 rumah dibangun, sebagian besar untuk umat Budha atau Hindu. Hanya 22 yang diperuntukkan bagi Benggala, kata yang digunakan oleh nasionalis Myanmar untuk menggambarkan Rohingya atau menyebut migran ilegal dari Bangladesh.
"Tentu saja kita telah menggunakan mesin seperti penghilang tanah dan bulldozer karena kita harus membersihkan lahan terlebih dahulu sebelum membangun rumah baru," kata Khine.
Pemantau Proyek Arakannya, Chris Lewa beranggapan penghancuran itu membuat kondisi Rohingya semakin sulit. "Bagaimana mereka mengidentifikasi tempat tinggal mereka, jika tidak ada yang tersisa, jika tidak ada yang bisa dikenali," Kata Lewa.
"Hal itu disebabkan budaya, sejarah, masa lalu, masa kini dari etnis Rohingya terhapus. Bila anda melihat gambarnya, jelas apa yang tersisa, masjid, kuburan, rumah mereka hilang," lanjut dia.
Seorang aktivis Human Rights Watch, Richard Weir mengatakan tidak ada lagi lahan, tidak ada pepohonan, tidak ada vegetasi. Semuanya dihilangkan, dan ini sangat memprihatinkan, karena ini adalah TKP.
"Tidak ada investigasi yang dapat dipercaya atas kejahatan ini. Jadi, yang sedang kita bicarakan benar-benar adalah penghalang keadilan," tutur Weir.