REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan oknum KPU dan Panwaslu di Kabupaten Garut dinilai sebagai noda besar bagi lembaga tersebut. Tindakan menerima suap di lembaga penyelenggara pemilu haram hukumnya untuk dilakukan.
"Penangkapan terhadap oknum dari dua organ penyelenggara pemilu ini tentu menjadi noda besar bagi lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya bekerja secara professional, mandiri, transparan, dan akuntabel," ujar Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, Ahad (25/2).
Menurutnya, jangankan menerima suap, bertindak, bersikap, dan berperilaku yang berpotensi menimbulkan dugaan tidak netral serta tidak professional saja merupakan hal yang haram dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Jika sudah sampai menerina suap, kata dia, tindakan itu tak bisa ditoleransi.
"Jika sudah sampai menerima suap dan melakukan tindakan atas kewenangan yang melekat padanya, untuk menguntungkan salah satu peserta pilkada, adalah perbuatan yang tidak bisa ditoleransi," jelasnya.
Fadli mengungkapkan, tindakan anggota KPU Garut dan Ketua Panawaslu Garut secara terang melanggar Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu khususnya Pasal 8 huruf a, g, dan j. Selain itu, apa yang mereka lakukan juga dapat disangka melanggar ketentuan UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Pasal yang disangkakan kepada kedua oknum ini adalah pasal larangan menerima suap kepada penyelenggara negara," jelasnya.
Sebab itu, lanjut Fadli, langkah pemberhentian kepada keduanya merupakan pilihan yang tepat untuk diambil. Tujuannya, untuk memastikan tugas-tugas pelaksanaan tahapan Pilkada 2018 di Kabupaten Garut berjalan dengan baik.
Ia pun mendorong KPU dan Bawaslu untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi internal kepada KPU Kabupaten Garut dan Pengawas Pemilu Kabupaten Garut. Investigasi internal itu perlu dilakukan beserta seluruh jajaran untuk mengungkap secara tuntas praktik pelanggaran yang telah dilakukan oleh kedua oknum penyelenggara pemilu itu.
Selain itu, lanjutnya, karena ini adalah tahun politik, supervisi, pengawasan, dan evaluasi internal mesti dilaksanakan secara periodik dan berkelanjutan oleh kedua lembaga tersebut. Fadli merasa, hal itu penting untuk dilakukan untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran dan tindak pidana oleh penyelenggara pemilu tidak lagi terjadi.
Fadli juga mendorong KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk terus melakukan pendampingan dan proses penegakan hukum yang tegas terhadap oknum penyelenggara pemilu. "Terhadap yang melanggar hukum. Apalagi menerima suap, imbalan, dan praktik lancung lain yang berkenaan dengan integritas penyelenggara Pemilu," jelasnya.