REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Abdul Fickar Hajar menilai peninjauan kembali (PK) pada dasarnya merupakan upaya hukum luar biasa yang bisa dilakukan oleh siapapun yang terkait perkara pidana. Selain upaya hukum luar biasa, menurutnya, dalam konteks penegakan hukum pidana dikenal juga upaya hukum biasa, yaitu banding di Pengadilan Tinggi dan kasasi di mahakamah agung (MA).
"Upaya hukum biasa ini terikat oleh waktu, sekitar 14 hari sejak putusan yang syaratnya bisa dilakukan terhadap setiap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap," ujar Abdul melalui pesan singkat kepada Republika.co.id, Senin (26/2).
Termasuk di dalamnya, putusan dari PN yang sudah tetap, putusan PT (banding) yang sudah tetap dan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Putusan tetap tersebut, kata dia, bisa terjadi jika tidak dilakukan upaya hukum (banding/kasasi) oleh terdakwa atau jaksa.
"Oleh karena itu, Ahok atau siapa pun yang berstatus narapidana mempunyai hak untuk mengajukan peninjauan kembali," ujarnya.
PK dapat ditujukan untuk mengurangi putusan. Selain itu, juga bisa untuk meminta MA menyatakan bahwa terpidana tidak bersalah melakukan tindak pidana. Secara jelas, jika dinyatakan tidak bersalah nama Ahok akan bersih kembali artinya tidak pernah dihukum.
PK itu, kata Abdul, dapat diajukan dengan alasannya seperti, ada kesesatan atau kekeliruan dalam putusan pengadilan yang lalu. "Harus ada novum atau ada bukti atau keadaan baru yang jika diketahui pada waktu sidang. Maka, putusan pengadilan akan membebaskan terdakwa," kata dia.