REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Terjadi kesenjangan yang cukup besar antara sekolah Islam mainstream dengan sekolah Islam network di Indonesia, hal yang bisa memunculkan perilaku ekstremisme.
Demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan tiga universitas yaitu Monash University, Universitas Islam Walisongo Semarang dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut disampaikan baru-baru ini dalam simposium internasional pencegahan ekstremisme di sekolah yang diselenggarakan di UIN Walisongo Semarang.
Sebelumnya kelompok peneliti dari tiga universitas membuat penelitian “Religious extremism and education: do schools make a difference?” (Ekstremisme agama dan pendidikan dan pendidikan: apakah sekolah membuat perbedaaan?).
Peneliti Agus Mutohar yang sedang melanjutkan pendidikan S3 di Monash University menjelaskan kepada wartawan ABC, dalam membedakan sekolah bagi penelitian tersebut mereka mengkategorikan sekolah mainstream (mainstream schools) sebagai mayoritas sekolah Islam pada umumnya yang cenderung terbuka dan adaptif pada perubahan. Sedangkan sekolah network (network schools) mengacu pada sekolah Islam yang memiliki pandangan tertutup.
Dari temuan di lapangan sejumlah sekolah Islam di Jawa Tengah masih memiliki pola pendidikan yang bisa memunculkan perilaku ekstremisme. Sekolah yang masuk dalam kategori network school tersebut cenderung tertutup, terpisah dari masyarakat, mengajarkan konstruksi identitas tunggal dan keseragaman.
Sekolah network ini sangat tertutup dengan melakukan perekrutan guru dengan latar belakang yang sama dan mengajarkan narasi-narasi kebencian terhadap pemeluk agama yang lain. Sementara itu sekolah mainstream (mainstream school) sudah mengajarkan nilai keterbukaan, integrasi, indetitas beragam, dan komunalitas.
Sekolah-sekolah yang masuk dalam kategori mainstream mayoritas telah menumbuhkan sikap toleran, idetitas muslim indonesia, dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan antar iman dengan siswa dari sekolah lain.
“Penelititian yang kami paparkan di simposium ini bisa dijadikan pijakan awal bagi seluruh stakeholder pendidikan masih terdapat beberapa sekolah yang cenderung mengajarkan sikap tertutup yang bisa berujung pada tumbuhnya ekstremisme lewat pemaksaan sikap beragama untuk orang lain,” tutur Agus Mutohar.
Menurut Agus Mutohar penelitian ini dilatarbelakangi bahwa Indonesia menepati rangking 42 dari 163 negara dalam indeks terorisme global yang menunjukkan bahwa perlu usaha yang menyuluruh dari seluruh pihak untuk mencegah munculnya sikap ekstremis dalam berbagai struktur masyarakat termasuk sekolah.
Mereka yang terlibat dalam penelitian adalah Dr Melanie C Brooks dan Prof Jeffrey Brooks dari Monash, Prof Irwan Abdullah dari UGM dan Agus Mutohar mewakili UIN Walisongo. Selama 2017, peneliti melakukan studi kasus di 20 sekolah Islam di Jawa Tengah dengan mewawancarai kepala sekolah, melakukan observasi, dan studi dokumen seperti kurikulum dan dokumentasi sekolah.
Agus Mutohar mengatakan di sekolah network terjadi pengajaran ekstrem dengan contoh pada beberapa hal. "Misalnya ada kepala sekolah yang membatasi siswa mengakses internet, sekolah terpisah yaitu sekolah yang merekrut guru dari latar belakang yang sama dan terafiliasi pada Islam transnasional, sekolah yang mengajarkan identitas murni dan tunggal yaitu sekolah yang mengajarkan Islam sebagai identitas tunggal dan tidak menerima identitas nasional maupun lokal," kata Agus Mutohar.
Dia mencontohkan dalam wawancara penelitian, kelompok peneliti ini berbicara dengan seorang kepala sekolah yang mendorong murid-murid mereka memberikan suara dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun lalu, dengan calon Ahok dan Anies Baswedan sebagai bagian dari sekolah network.
Ahok ketika itu juga sedang menghadapi kasus penistaan agama berkaitan dengan ucapannya mengenai Islam. "Kami memberikan izin kepada mereka untuk memberikan suara dan malah menganjurkan mereka memberi suara karena ini merupakan pemilihan antara Islam dan non Islam, antara kemenangan Islam atau kehancuran Islam di Jakarta," demikian kutipan dari salah seorang kepala sekolah.