REPUBLIKA.CO.ID, Pejabat kesehatan yang berada di kantong pemberontak Ghouta menuding pasukan pemerintah Suriah menggunakan gas klorin dalam aksi pengeboman udara di pinggiran Damaskus. Pertahanan Sipil Suriah, yang dikenal dengan White Helmets atau Helm Putih, mengatakan, setidaknya satu anak tewas akibat kehabisan tenaga. Ia berkicau di akun media sosial Twitter pada Ahad (25/2).
Dilansir dari Al Jazeera pada Senin (26/2), pemerintah menyatakan, korban menunjukkan gejala konsisten dengan paparan gas klorin beracun. Kementerian kesehatan oposisi mengatakan dalam sebuah pernyataan, beberapa orang dirawat di fasilitas medis di dekat Al-Shifoniyah. Gejalanya meliputi dyspnea, iritasi intensif pada selaput lendir, iritasi mata dan pusing.
Beberapa bayi memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).
Sedikitnya, 18 orang dirawat dengan sesi nebulising oksigen. White Helmets juga menyatakan, beberapa wanita dan anak-anak mengalami kesulitan bernapas.
Laporan tentang serangan gas terjadi saat pasukan Presiden Bashar al-Assad berperang melawan kelompok oposisi dari berbagai bidang dalam upaya menembus wilayah kantong yang terkepung itu.
Garis depan
Ghouta Timur telah berada di bawah kontrol pemberontak sejak 2013. Sejak itu, pemerintah Suriah memberantas pengepungan di pinggiran kota dalam upaya mengusir pemberontak.
Jurnalis Al Jazeera yang melaporkan dari Beirut di negara tetangga Lebanon, Zeina Khodr mengatakan, Al-Shifoniyah merupakan target karena aliansi pro pemerintah mencoba menyerang daerah-daerah di Ghouta Timur yang dekat dengan garis depan. "Apa yang aliansi pro-pemerintah coba lakukan adalah menargetkan daerah-daerah ini di tepi Ghouta untuk memudahkan kekuatan darat mereka mendorong dan maju," ujar dia.
Dia melaporkan, pemerintah belum bisa mengambil sedikit pun wilayah di Ghouta, sejak serangan darat dimulai pada Ahad. Gencata senjata terus-menerus terjadi dan menewaskan setidaknya 16 warga sipil sejak Senin (26/2) pagi di salah satu kota utama Ghouta Timur, Douma.
Seorang aktivis lokal Alaa al-Ahmed menjabarkan, 10 dari mereka yang kehilangan nyawa pada Senin (26/2) ini, berasal dari keluarga yang sama.
Jurnalis Al Jazeera, Mohammed Al Jazaeri menuturkan, sedikitnya 27 orang tewas pada Ahad (25/2) akibat penembakan pesawat tempur Suriah yang didukung Rusia. Pesawat itu menargetkan berbagai distrik dan kota di pinggiran kota Damaskus.
Serangan tersebut terjadi setelah Dewan Keamanan PBB memilih dengan suara bulat untuk sebuah resolusi pada Ahad (25/2), menyerukan gencatan senjata 30 hari di Suriah.
Pekan lalu, serangan udara mematikan dan tembakan artileri yang diluncurkan pasukan Suriah atas dukungan Rusia, memperburuk krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah kantong yang terkepung tersebut. Padahal, daerah itu menampung sekitar 400 ribu orang.
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), lebih dari 500 warga sipil kehilangan nyawa akibat kampanye pengeboman udara yang dimulai pada 18 Februari.
Awal pekan ini, PBB dan badan-badan internasional lainnya mengungkapkan kemarahan atas jumlah korban sipil. Ratusan ribu orang tewas dalam pertempuran selama perang saudara tujuh tahun Suriah. Pun jutaan orang terpaksa melarikan diri dari negara tersebut.