REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Sudan Selatan terancam kembali mengalami kelaparan. Badan Pangan dan Pertanian (FAO) PBB melaporkan hampir dua per tiga dari keseluruhan penduduk, sekitar delapan juta orang, membutuhkan bantuan makanan pada tahun ini untuk mencegah kurang gizi dan kelaparan.
Sudan sudah empat tahun sejak perang saudara dan kegagalan gencatan senjata di negara paling muda dunia tersebut. "Keadaan di Sudan Selatan itu sangat rentan dan kita akan menghadapi kembali bencana kelaparan. Perkiraan kami sangat kelam. Jika kami membiarkannya, maka dunia akan menyaksikan tragedi," kata Serge Tissot dari FAO di Sudan Selatan.
Sekitar 5,3 juta warga, atau 48 persen dari populasi keseluruhan, kini sudah berada dalam kondisi krisis dan darurat. Kondisi ini adalah tahap ketiga dan keempat dari lima skala poin menurut penelitian yang dipublikasikan oleh FAO.
Negara kaya kandungan minyak di kawasan Afrika timur itu mengalami perang saudara sejak 2013, setelah tentara loyalis Presiden Salva Kiir dan mantan Wakil Presiden Riek Machar bertempur satu sama lain.
Sejak saat itu, lebih dari empat juta orang terpaksa meninggalkan rumah sehingga menciptakan krisis pengungsi terbesar di Afrika sejak insiden genosida di Rwanda tahun 1994.
Pada Februari tahun lalu, PBB menyatakan bencana kepalaran telah terjadi di dua distrik Sudan Selatan. Namun krisis itu sudah berangsur membaik pada Juni.
"Kami memperkirakan menghadapi tahun terberat," kata Koordinator Kemanusiaan PBB, Alain Noudehou, dalam jumpa pers di ibu kota Sudan Selatan, Juba.
Catatan paling awal di Sudah Selatan dimulai saat negara itu menyatakan kemerdekaan dari Sudan pada Juli 2011.