REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjalani sidang perdana peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada hari ini, Senin (26/2), di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, ia menghargai proses hukum yang kini sedang diupayakan Ahok.
"Kita tentu menghargai proses hukum yang diajukan selama itu dalam koridor hukum," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (26/2).
Menurut Fadli, dirinya justru tidak melihat adanya bukti baru yang bisa dijadikan satu landasan untuk mengabulkan PK tersebut. Bahkan, Fadli mengingatkan agar sidang PK Ahok tidak direkayasa hingga tidak menimbulkan kegaduhan baru.
"Saya kira perlu dipertimbangkan rasa keadilan masyarakat, jangan sampai sidang ini rekayasa dan menghasilkan kegaduhan baru," ujar Wakil Ketua DPR tersebut.
Ahok telah divonis hukuman penjara selama dua tahun atas kasus penodaan agama Mei 2017 lalu. Ahok diketahui mengajukan PK vonisnya ke MA pada 2 Februari 2018 lalu. Putusan Buni Yani diketahui menjadi dasar Ahok mengajukan PK tersebut.
Ahok sendiri tidak menghadiri sidang itu. Salah satu kuasa hukum Ahok, Fifi Lety, mengatakan, ketidakhadiran Ahok bukanlah sesuatu yang penting. "Ahok tidak bisa hadir hari ini, lagipula itu bukan suatu yang penting," ujar dia saat ditemui di depan ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin (26/2).
Sidang dimulai sekitar pukul 09.15 WIB. Namun, pada pukul 10.00 WIB sidang sudah selesai setelah tim kuasa hukum menyerahkan berkas-berkas PK Ahok. Sidang ditangguhkan hingga Rabu (28/2) mendatang.
Kuasa hukum Ahok lainnya, Josefina Agatha Syukur, mengatakan, kasusnya Ahok ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus Buni Yani. Timnya, Josefina melanjutkan, melihat bahwa di dalam putusan PK itu adalah dasar bagi Buni Yani dipidana karena dia mengedit video yang sudah ada. Videonya memang sama, tetapi kalimat yang ditambahkan itu tidak sesuai karena Buni Yani menambahkan kalimat yang tak sesuai.
Koordinator Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Nasrulloh Nasution menilai PK yang diajukan Ahok dianggap tidak memiliki landasan hukum tetap. Sebab, sandaran pengajuan PK berdasarkan novum atau bukti baru putusan Buni Yani belumlah inkrah.
"Informasi yang saya dapatkan, PK ini berdasarkan atas novum yakni putusan Buni Yani, kalau saya tidak salah," katanya kepada wartawan, Senin (26/2).
Sedangkan, lanjut dia, putusan tersebut belum inkrah atau berkekuatan hukum tetap. "Sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum," ujarnya.
Setelah Buni Yani divonis bersalah, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Setelah Pengadilan Tinggi Bandung tak mengubah putusan dari pengadilan negeri, banding Buni Yani akan dilanjutkan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Karena banding Buni Yani masih berproses, alasan PK Ahok atas bukti vonis Buni Yani yang masih berproses banding dianggap masih belum inkrah. Dalam kata lain, alasan PK belum memiliki kekuatan hukum tetap. (Pengolah: muhammad hafil).
Baca Juga: Polisi Periksa Ahok Kasus Korupsi Reklamasi Pulau