REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pemerintah Filipina akan mengizinkan proses penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam operasi pemberantasan narkoba oleh pelapor khusus PBB. Namun Filipina meminta penyelidikan ini dilakukan oleh pelapor yang tepat dan tidak bias.
Lebih dari 30 negara Barat meminta Filipina mengizinkan pelapor khusus PBB bernama Agnes Callamard menangani penyelidikan ini. Callamard merupakan pelapor yang berkompetensi dalam bidang pembunuhan di luar hukum dan eksekusi secara sewenang-wenang.
Juru bicara Presiden Filipina Rodrigu Duterte, Harry Roque, mengatakan, kendati pemerintah Filipina telah membuka diri untuk proses penyelidikan, namun, menurutnya, Callamard bukan orang yang tepat menangani hal ini. Filipina, kata Roque, menghendaki pelapor khusus yang kredibel, objektif, dan tidak bias. "Callamard tidak sesuai dengan deskripsi itu. Tentu bukan Agnes Callamard," ujarnya.
Roque mengungkapkan, ia memiliki seorang advokat yang bisa melakukan pekerjaan ini. Namun ia menolak untuk memberitahu identitasnya.
Awal bulan ini, seorang jaksa di Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, telah memulai pemeriksaan pendahuluan atas laporan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Duterte. Tanpa rasa khawatir, Duterte menyambut pemeriksaan tersebut.
Sebuah laporan yang disusun tokoh oposisi Filipina telah diserahkan ke ICC tahun lalu. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa Duterte terbukti bertanggung jawab atas eksekusi mati di luar hukum dan pembunuhan massal ketika mengobarkan kampanye melawan peredaran narkoba.
Gary Alejano, seorang politikus oposisi Filipina mengatakan, diajukannya laporan ke ICC merupakan bukti bahwa klaim mereka memiliki legitimasi. Di sisi lain, diajukannya laporan tersebut akan memberi secercah harapan bagi para korban yang menjadi keganasan Duterte dalam memerangi narkoba.
"Di negara ini orang bingung ke mana harus pergi jika anggota keluarganya merasa menjadi korban perang terhadap narkoba. Mereka tidak bisa pergi ke kepolisian karena mereka terlibat, mereka pun tidak bisa pergi ke departemen kehakiman karena sekretaris akan mengatakan tidak ada pembunuhan di luar hukum," kata Alejano awal bulan ini.
Tidak hanya lembaga atau institusi hukum, parlemen pun tidak akan mau membantu para korban tersebut. "Ketika kami meminta penyelidikan oleh parlemen, kami tidak bisa mendapatkan pendengaran yang tidak memihak karena mereka menutup-nutupi (kesalahan) presiden," kata Alejano.