REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Bahlil Lahadalia menyebutkan sektor industri di Papua hingga saat ini tidak berkembang karena tidak mencukupinya pasokan energi listrik. Jangankan untuk industri, listrik rumah tangga saja sering bermasalah.
Perhitungannya, minimal Papua dan Papua Barat mendapat tambahan 1.000 MW.
"Tidak akan pernah industri di Papua berkembang baik selama listriknya tidak ada. Listrik kita di Papua untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja mati-mati terus," ujar Bahlil Lahadalia, Rabu (28/2).
Ia pun menyoroti kebijakan pemerintah dan PT PLN (Persero) yang menurutnya dalam kebijakan pembangunan 35 ribu megawatt (MW) di seluruh Indonesia, belum berpihak ke Papua yang sektor industrinya belum terbangun.
"Jadi bagaimana kita mau bangun pabrik, dari mana kita mengambil energi. Kalau ada listrik kita siap melakukan investasi. Program 35 ribu MW yang menjadi cadangan RUPTL sebagai target dari Presiden Jokowi, untuk Papua dan Papua Barat tidak lebih dari 500 MW, apa yang mau diharapkan," kata dia.
Bahlil menegaskan untuk membangun sebuah pabrik dibutuhkan kapsitas daya yang besar dan pengusaha tidak mampu untuk membangun pembangkit kelistrikan karena biayanya yang tinggi. Ia pun meminta kepada pihak-pihak terkait dalam penyiapan energi kelistrikan, khususnya PLN, untuk bisa mendorong masuknya industri di Papua dengan penyiapan daya yang dibutuhkan industri.
"Untuk membangun cold storage minimal kita membutuhkan 30-40 MW, membangun pengolahan kayu minimal 12-13 MW untuk menggerakkan mesin, sementara biaya investasi untuk membangun pembangkit kapasitas 1 MW bertenaga gas itu minimal 1,2 juta dolar AS, itu hanya untuk mesinnya," ujarnya lagi.