Rabu 28 Feb 2018 18:41 WIB

Saatnya Bentuk Badan Otonom Obat dan Makanan

Badan itu setidaknya dipimpin pejabat profesional yang menjaga standar kelayakan.

 Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah supermarket di Jakarta. (ilustrasi)
Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah supermarket di Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) menilai, sudah saatnya ada Badan Pengendali Obat dan Makanan (BPOM) yang otonom langsung bertanggung jawab ke Presiden. Badan ini setidaknya dipimpin pejabat profesional yang mampu menjaga standar kelayakan produksi, mutu bahan baku, dan standar harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia.

“Adapun payung hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) setidaknya diatur melalui peraturan pemerintah (PP), atau lebih kuat dengan UU Obat dan Makanan. Hal ini perlu untuk menghindari tumpang tindih dengan kebijakan Kementerian Kesehatan,” tegas Riant Nugroho, pengamat kebijakan publik UI, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (27/2).

Riant mengingatkan, pendirian lembaga baru yang otonom (BPOM) itu perlu dilakukan dengan hati-hati, agar tidak terkesan munculnya lembaga baru itu secara mendadak. “Perlu dilakukan dengan simulasi saat BPOM berada di bawah naungan Kemenkes, dan saat BPOM berdiri sendiri. Dan juga perlu ada focus group discussion (FGD) dengan mengundang kalangan ahli manajemen yang kompeten,” ujarnya.

Indonesia, menurut Riant, harus meniru lembaga Food and Drugs Administration (FDA) yang memiliki kewenangan otonom di luar departemen kesehatan di Amerika Serikat. Tidak hanya itu, tingginya harga obat yang bahan bakunya berasal dari impor juga sering dipermainkan oleh mafia bisnis obat, sehingga harga obat semakin tidak terjangkau oleh segenap rakyat miskin yang berada di pelosok Indonesia.

“Salah satu tugas badan baru pengendali obat dan makanan, adalah mampu mereduksi dan mendeteksi permainan mafia obat tersebut, yang selama ini sulit terdeteksi oleh pihak berwajib,” ujar Riant. 

Kemenkes saat ini diketahui lebih banyak melakukan pekerjaan operasional dan distribusi obat, termasuk pengurusan perizinan peredaran obat dan pabrik farmasi. “Kemenkes harusnya lebih banyak mengatur regulasi, izin praktik dokter, dan mengatur pemerataan kesehatan masyarakat dan promosi pencegahan (preventive promotion) di seluruh wilayah Indonesia,” ujarnya.

Presiden Jokowi menegaskan, Indonesia di masa mendatang seharusnya tidak lagi mengimpor obat-obatan sebab teknologi berkembang begitu cepat. Jokowi menginstruksikan para pembantunya berinovasi terhadap bahan-bahan yang selama ini diimpor sehingga Indonesia bisa memproduksinya sendiri.

"Jangan sampai impor, impor, impor. Marilah kita sama-sama berpikir," ujarnya saat meresmikan pabrik obat PT Kalbio Global Medika di Cikarang, Selasa (27/2).

Presiden juga menjelaskan, pemerintah menjadikan pembangunan kesehatan sebagai prioritas dan pembangunan pabrik farmasi itu akan mendukung upaya pemerintah dalam membangun kesehatan masyarakat. Riant mengatakan, sudah saatnya Indonesia memiliki badan otonom yang khusus menangani perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian masalah obat dan makanan, agar mampu menghasilkan sebuah produk obat dan makanan yang mutu dan harganya dapat terjangkau oleh masyarakat Indonesia.

Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius mengatakan tantangan industri farmasi saat ini adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan baku impor. "Tantangan yang kita hadapi adalah lebih dari 90 persen bahan baku obat masih diimpor. Bahkan bahan baku canggih seperti produk-produk biologi masih 100 persen diimpor. Untuk memastikan ketahanan dan kemandirian obat yang dibutuhkan perlu didorong produksi bahan baku obat di dalam negeri," ujar Vidjongtius seperti dikutip Antara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement