REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
Seseorang pernah berkata kepada penulis, "Apakah segala peristiwa harus dikait-kaitkan dengan agama?" Seketika itu langsung tebersit dalam benak, betapa indah dan istimewa agama Islam ini.
Mulai dari tidur, minum dan makan, buang hajat, mengenakan sandal dan pakaian, hingga bersin sekalipun memiliki dimensi agama dan bernilai ibadah. Segala sesuatu yang ada pada dirinya dan alam dunia serta segala sesuatu yang tampak maupun tidak tampak oleh mata bagi seorang Muslim pasti terkait dengan agamanya.
Dari sahabat Salman, beliau berkata, "Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami: 'Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai buang air besar!' Maka, Salman radhiyallahu anhu menjawab" 'Ya!'" (HR Muslim, Abu Dawud, dan lainnya).
Musibah yang menimpa umat manusia, terlebih yang menimpa saudara Muslim di belahan dunia lainnya pun memiliki dimensi agama. Bencana alam, bencana kemanusiaan, dan musi bah yang menimpa diri sendiri pun telah dijelaskan hakikatnya oleh Islam. "Dan pada diri-diri kalian (terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya) tidakkah kalian melihat." (QS adz-Dzariat: 21).
Jika begini cara pandang seorang Muslim dalam tindak tanduk kesehariannya, maka ia sejatinya telah menjadi Muslim ideal. Islam telah menyatu dengan hidupnya lahir dan batin. Kelelahan dalam mencari rezeki, demam yang menimpa, tali sandal yang putus, wafatnya karib kerabat, serta lapang dan sempitnya karier dan perniagaan pun memiliki dimensi Islami.
Melihat daun yang jatuh atau seekor kucing yang mengubur sendiri kotorannya di tanah, atau kilatan petir, gemuruh guntur, atau gerhana, hati seorang Muslim seketika itu terpaut dengan apa yang agamanya jelaskan tentang semua itu. Bahkan, semua fenomena alam dapat menjadi pengingat seorang Muslim untuk tidak lalai berzikir, yakni berzikir ketika melihat sesuatu yang menakjubkan, ketika petir menyambar-nyambar dan ketika gerhana matahari dan bulan terjadi. "Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tan da-tanda untuk orang-orang yang beriman" (QS al-Jaatsiyah: 3).
Oleh sebab itu, jika segala sesuatu adalah milik-Nya, segala sesuatu pasti terkait dengan Islam. Dengan menanamkan cara pandang seperti ini, niscaya kita akan selalu dekat dengan Islam dan dekat dengan ajaran Islam berarti jalan untuk mendekat kepada Allah. Akan tetapi, semua tidak lantas terjadi begitu saja.
Ia hanya ada pada diri seorang muslim yang Allah kehendaki hidayah turun padanya saja. Setelah itu, seorang Muslim harus menempuh sebab-sebab dunia untuk meraih taufik dan hidayah, dan sebab terbesarnya adalah menuntut ilmu. Nabi Musa pernah berdoa, Rabbi zidni 'ilman (Ya Rabbku, tambahkanlah aku ilmu). Semoga kita diberi hidayah oleh-Nya untuk mencintai ilmu dan berupaya mencarinya, ikhlas untuk mengharap pahala-Nya.