Kamis 01 Mar 2018 05:49 WIB

Kurikulum Tangkal Radikalisme di Kampus Dirancang

Aturan penggunaan cadar di kampus merupakan otonomi perguruan tinggi.

Radikalisme(ilustrasi)
Foto: punkway.net
Radikalisme(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir telah merancang sistem kurikulum general education (pendidikan umum) untuk menangkal pemahaman radikalisme di perguruan tinggi. Kurikulum tersebut nantinya akan memuat pemahaman kebangsaan.

Nasir menjelaskan, dalam wawasan negara tersebut, ada empat pilar kebangsaan yang harus dipelajari semua mahasiswa, yakni masalah NKRI harga mati, Pancasila sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai dasar pemikiran, dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Tapi, itu semua tidak cukup dalam pembelajaran, implementasikan dalam sehari-hari,” kata Nasir di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Tangerang Selatan, Rabu (28/2).

Nasir menekankan, dosen memiliki peran sentral untuk menangkal radikalisme. Karena itu, dia mengimbau agar para dosen tidak melakukan kegiatan yang dilarang oleh negara.

Menteri pun mendorong dosen agar terus proaktif menyosialisasikan wawasan kebangsaan ketika berinteraksi dengan mahasiswa, baik sosialisasi yang dilakukan ketika proses belajar mengajar maupun melalui jalur lain.

“Menangkal radikalisme di dalam kampus ada tahapan-tahapan yang akan dilakukan. Kemarin, kami keluarkan aturan pelarangan HTI (Hizbut Tahrir Indoensia). Nah, sekarang tinggal sosialisasi agar tidak ada lagi paham radikal,” kata Nasir.

Mengenai adanya kebijakan khusus pembinaan terhadap mahasiswi bercadar, Menristekdikti menegaskan, pemerintah menyerahkan segala bentuk pembinaan ataupun aturan untuk menangkal radikalisme di kampus kepada perguruan tinggi. Asalkan semua aturan yang dirancang tidak menghambat setiap ritual peribadatan semua mahasiswa yang memiliki agama yang beragam.

"Semua harus mendapatkan layanan yang baik. Mau itu agama Islam, Katolik, Hindu, Buddha, atau mungkin Konghucu, pokoknya layani dengan baik. Tidak boleh ada yang merasa didiskriminasi,” kata Nasir.

Mengenai aturan penggunaan cadar, kata dia, hal itu juga menjadi kebijakan otonomi setiap perguruan tinggi. Sebab, kebijakan penggunaan cadar akan bergantung pada budaya di setiap perguruan tinggi. “Cadar itu semua saya serahkan ke kampus. Itu masalah budaya mereka,” kata dia.

Sekadar catatan, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta sedang melakukan pendataan dan pembinaan kepada seluruh mahasiswa, termasuk mahasiswi bercadar. Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Suka, Waryono, meskipun pusat pembinaan yang sama, mahasiswi bercadar menjadi sorotan tersendiri.

Alasannya, UIN Suka sempat kecolongan setelah adanya foto sekelompok perempuan bercadar di Masjid UIN Suka berpose dengan spanduk identitas ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.

Mengenai penyebaran radikalisme di lingkungan lembaga pendidikan, Direktur Pembinaan SMP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Supriano, mengingatkan agar para siswa dan guru selalu mewaspadai bahaya radikalisme, pornografi yang marak di media sosial, dan narkoba yang mulai masuk pada satuan pendidikan. Untuk itu, penguatan karakter positif sesuai Nawacita pun perlu dikuatkan.

“Berikan pendidikan karakter sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yaitu revolusi mental. Ini harus dikuatkan agar bisa menangkal radikal dan lainnya,” kata Supriano.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement