REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengeluhkan sekaligus mengkritik gencatan senjata di Ghouta Timur, Suriah, yang hanya berlangsung lima jam sehari. ICRC mengangap jeda yang singkat akan menyulitkan proses penyaluran bantuan kemanusiaan.
"Tidak mungkin membawa konvoi kemanusiaan dalam lima jam. Kami memiliki pengalaman panjang dalam membawa bantuan ke garis depan Suriah," kata Direktur ICRC untuk Timur Tengah Robert Mardini, dikutip laman Al Araby, Rabu (28/2).
"Kami tahu mungkin perlu waktu satu hari untuk hanya melewati pos pemeriksaan, terlepas dari kesepakatan sebelumnya dari semua pihak. Kemudian Anda perlu membongkar muatan (bantuan)," kata Mardini.
Beberapa bayi memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).
Menurutnya, koridor bantuan kemanusiaan harus direncanakan dengan baik dan matang serta disetujui oleh semua pihak yang bertikai. Warga di sana juga harus diizinkan pergi berdasarkan kehendak mereka sendiri.
Sejak pekan lalu, Ghouta Timur telah menjadi bulan-bulanan serangan udara pemerintah Suriah dan Rusia. Serangan dilakukan dengan maksud mencekik dan mematikan perlawanan kelompok pemberontak yang menguasai daerah tersebut.
Namun, dalam serangan udara bertubi-tubi itu, banyak warga sipil yang turut menjadi korban. Lebih dari 500 orang telah dilaporkan tewas sejak serangan dimulai pekan lalu.
Seorang anak dan pria memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Douma, Ghouta Timur, Damascus, Syria, Ahad (25/2).
Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan dilakukannya gencatan senjata di Ghouta Timur guna memberi ruang bagi penyaluran bantuan kemanusiaan, termasuk membiarkan warga sipil meninggalkan daerah tersebut. Namun, gencatan senjata ini hanya berlangsung selama lima jam, dimulai sejak pukul 09:00 pagi.
Jeda tersebut dinilai sangat minim bagi kelompok atau organisasi kemanusiaan yang hendak mengirim bantuan ke sana. Konflik sipil Suriah telah berlangsung selama tujuh tahun. Konflik ini telah menyebabkan lebih dari 400 ribu penduduknya tewas dan sekitar 11 juta lainnya mengungsi. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda konflik di sana akan berakhir.