REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mata Uang rupiah akhir-akhir ini semakin melemah, salah satunya disebabkan kurs dolar yang terus menguat. Hanya saja, Bank Indonesia (BI) menegaskan, pelemahan mata uang terjadi pula di hampir seluruh negara.
"Sejak awal Februari sampai sekarang pasar keuangan global geraknya sangat cepat. Didorong pidato Jerome Powell (Gubernur Baru The Fed). Pasar keuangan mereka (Amerika Serikat/AS) sangat dominan maka imbasnya ke pasar keuangan global" ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi di Jakarta, Kamis, (1/3).
Ia menyebutkan, pelemahan mata uang tidak hanya terjadi di negara berkembang (emerging market) tapi juga di beberapa negara maju. "Semuanya melemah, pelemahan paling besar terjadi pada mata uang krona Swedia, dari awal Februari sampai hari ini lemahnya hampir lima persen atau sekitar 4,9 persen," kata Doddy.
Selanjutnya, di periode awal Februari sampai sekarang, mata uang krona Norwegia melemah hampir 2,2 persen. "Franc Swiss juga tidak bisa mengelak, melemah sekitar 1,4 persen," tambahnya.
Dalam periode sama, mata uang di beberapa negara di Asia turut melemah. Mata uang rupiah melemah 2,8 persen, rupee India 2,4 persen, won Korea melemah 1,4 persen, serta lainnya.
"Pelemahan dolar Singapura hampir satu persen. Thailand, Hongkong, dan lainnya terkena juga," kata Doddy.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, BI sudah dari lama mempersiapkan diri dalam menghadapi kondisi tersebut. Salah satunya dengan tidak menurunkan suku bunga acuan bank sentral sejak akhir 2017.
"Lalu kebijakan yang selama ini sudah kita lakukan seperti kewajiban hedging juga sangat membantu. Itu berdampak positif ke pasar valas kita," jelasnya.
Dirinya menegaskan, BI akan terus menjaga stabilisasi mata uang dan berada di pasar. Hal itu supaya mata uang tidak semakin terperosok lebih dalam.
Sebagai informasi, hari ini kurs rupiah sempat mencapai titik terlemahnya di Rp 13.800 per dolar AS. Meski begitu pada akhir perdagangan, rupiah ditutup menguat tiga poin di level Rp 13.748 per dolar AS.