Jumat 02 Mar 2018 02:03 WIB

Mahfud MD Utarakan Alternatif Soal UU MD3

Presiden punya wewenang untuk menentukan sikap soal UU MD3 tanpa boleh ditekan.

Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG — Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengutarakan beberapa alternatif sikap dapat diambil Presiden Joko Widodo terkait dengan Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Aturan ini sudah selesai direvisi dan saat ini menunggu disetujui.

"Presiden punya wewenang untuk menentukan sikap soal UU MD3 tanpa boleh ditekan oleh siapa pun," kata dia, usai pidato kebangsaan dengan tema Revitalisasi Peran Agama, Budaya dan Negara Dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa, sebagai bagian perayaan Cap Go Meh, di GOR Himpunan Tjinta Teman, Padang, Kamis (1/3) malam. 

Mahfud menyebutkan beberapa alternatif dengan segala risiko yang mungkin timbul, namun Presiden Jokowi perlu mengambil keputusan secepatnya. "Mudah-mudahan dalam seminggu ke depan sudah ada sikap Presiden, jadi tunggu saja," katanya lagi.

Ia memaparkan alternatif yang bisa diambil itu, pertama Presiden bisa menandatangani lalu diserahkan kepada masyarakat apakah mau digugat atau tidak ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, bisa juga Presiden tidak menandatangani dan diserahkan kepada masyarakat, kata dia.

Kemudian, bisa juga Presiden menandatangani lalu mengubah UU tersebut melalui legislatif review atau bisa juga menandatangani lalu disusul dengan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk mencabut tiga pasal yang bermasalah, lanjut dia. Jadi semua itu, kata dia, boleh dilakukan oleh Presiden dan dapat dipilih sesuai dengan mana yang dianggap baik berdasarkan pertimbangan yang ada.

Terkait dengan mana sikap yang paling tepat, Mahfud menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi berdasarkan analisisnya.

Sebelumnya, dalam revisi UU MD3 dinilai ada tiga pasal kontroversial yang mendapat kritik keras publik dan harus dikoreksi. Pertama, pasal 73 yang menyatakan polisi diwajibkan membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.

Lalu, pasal 122 huruf k, menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Berikutnya, pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement