REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Monumen Jogja Kembali (Monjali) kembali mencatatkan namanya di Museum Rekor Indonesia (Muri) dengan memancangkan 1.500 bambu runcing. Piagam Muri dilakukan pada upacara peringatan peristiwa bersejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Monjali.
Bupati Sleman, Sri Purnomo, yang saat peringatan bertindak sebagai pemimpin upacara, berharap diterimanya piagam Muri dapat jadi penyemangat bagi pengelola. Ia berharap, pelayanan di Monjali dimaksimalkan lagi.
"Sehingga, nanti bisa jadi magnet tersendiri, menjadi destinasi wisata yang semakin banyak yang datang ke sini," kata Sri.
Sebanyak 1.500 bambu runcing dipancangkan melambangkan 1.500 pasukan Indonesia yang melakukan SO 1 Maret 1949. (Wahyu Suryana / Republika)
Ia menuturkan, upacara itu sendiri bertujuan menumbuhkan semangat perjuangan bagi generasi muda. Sri meminta, semangat perjuangan itu dapat diimplementasikan sesuai kondisi yang ada saat ini di Indonesia.
Sehingga, lanjut Sri, Indoneisa akan menjadi bangsa yang maju dan tidak mudah dipecah-belah. Menurut Sri, persitiwa bersejarah yang mengembalikan harkat bangsa Indonesia itu harus digunakan sebagai pemicu persatuan.
"Heroisme 1 Maret 1949 bisa diimplementasikan sesuai kekinian, kita juga harus bisa bersatu menjaga keutuhan NKRI," ujar Sri.
Senada, Ketua Panitia Peringatan SO 1 Maret 1949, Nang Dwinarto menjelaskan, Monjali di samping obyek wisata memiliki misi pendidikan. Sehingga, Monumen Jogja Kembali memang seharusnya dilestarikan keberadaannya.
"Tetenger yang dibangun dalam rangka memperingati peristiwa penting, kembalinya pemerintahan Indonesia dari kekuasaan Belanda," kata Nanang.
Sebanyak 1.500 bambu runcing dipancangkan melambangkan 1.500 pasukan Indonesia yang melakukan SO 1 Maret 1949. (Wahyu Suryana / Republika)
Pemancangan sendiri dilaksanakan sejak 21-28 Februari 2018. Dilakukan tim panjat tebing Mapala UPN Veteran Yogyakarta dan relawan-relawan lain. Pada kesempatan itu, Bupati Sleman memancangkan satu bambu runcing yang menggenapkan jumlah 1.500 bambu runcing.
Upacara dihadiri kepala museum, pelajar, mahasiswa, asrama-asrama, santri-santri pondok pesantren, mahasiswa-mahasiswa pecinta alam dan duta-duta museum. Semua peserta memakai janur kuning sebagai penanda, dan sisanya mengenakan pakaian pejuang.