REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in berencana mengirim utusan khusus ke Korea Utara (Korut). Hal ini diungkapkan Moon saat berbicara dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump via telepon pada Kamis (1/3).
"Kedua pemimpin sepakat untuk melanjutkan upaya mereka mempertahankan momentum dialog antara Korsel dan Korut, sehingga dapat memicu denuklirisasi Semenanjung Korea," kata kantor kepresidenan Korsel dalam sebuah pernyataan dilaporkan Yonhap.
Rencana untuk mengirim utusan khusus ini muncul setelah Korut menunjukkan kesiapannya mengadakan pertemuan puncak antar-Korea yang ketiga kalinya. Adik pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un, yakni Kim Yo Jong, secara pribadi telah mengundang Moon Jae-in untuk berkunjung ke Pyongyang.
Pada perhelatan Olimpiade Musim Dingin Pyeong Chang, Kim Yo Jong dan pejabat tinggi Korut berkunjung ke Korsel. Selama kunjungan tersebut, Moon Jae-in selalu menemani dan mendampingi Kim Yo Jong.
Para delegasi Korut juga dijamu dengan sangat hangat. Kim Jong-un bahkan menyampaikan rasa terima kasih kepada Korsel karena telah memperlakukan adiknya dengan sangat baik dan hangat.
Namun perihal pengiriman utusan khusus ke Korut yangdirencanakan Moon Jae-in, hal ini diperkirakan tak akan berlangsung mulus. Saat ini pendapat politik di Korsel masih terpecah mengenai cara menghadapi Pyongyang.
Sebagian kalangan menilai dialog dengan Korut terkait upaya denuklirisasi Semenanjung Korea perlu dilakukan. Sementara sebagian lainnya berpendapat hanya sanksi internasional yang dapat membuat Korut meninggalkan proyek rudal dan nuklirnya.
Korut diketahui telah dijatuhi sanksi bertubi-tubi oleh Dewan Keamanan PBB. Sanksi-sanksi tersebut diyakini telah memangkas sebagian besar pendapatan negara tersebut. Kendati demikian, Korut pernah menyatakan bahwa sanksi yang dijatuhkan kepadanya semakin meyakinkan komitmennya untuk mengembangkan rudal balistik berkepala nuklir.
Kemudian terkait hubungan Korut dengan Korsel, keduanegara ini pernah terlibat perang pada tahun 1950-1953. Perang tersebut berakhir dengan gencatan senjata dan tanpa kesepakatan damai. Hubungan kedua negara kembali memanas setelah Korut aktif mengembangkan rudal nuklirnya.