REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan perkara korupsi yang dihentikan karena pelakunya mengembalikan uang negara yang sebelumnya diambil itu tidak bisa langsung diambil-alih oleh KPK. Dia menegaskan, ada banyak tahapan untuk itu dan tidak bisa serta-merta.
"Undang-undang mengatur kalau sudah ditangani APH (aparat penegak hukum) tidak boleh begitu saja (diambil-alih). Ada tahapan dan melalui banyak tahapan. Karena UU menekankan yang sudah ditangani APH lain tidak boleh ditangani KPK, apalagi kalau itu bukan penyelenggara negara," kata dia, Jumat (2/3).
Saut sebelumnya menilai, pernyataan Kabareskrim Polri beberapa hari lalu tidak memastikan bahwa seluruh kasus korupsi di mana tersangkanya mengembalikan uang hasil kejahatan itu, akan dihentikan.
"(Kepala Bareskrim Polri) menyebut ada kata-kata 'mungkin dihentikan'. Jadi, bisa jadi menurut saya tidak semua kasus dihentikan, tergantung kasusnya," ujarnya.
Apalagi, Saut menambahkan, hal itu menyangkut wewenang yang ada pada masing-masing APH lain. Sehingga, KPK pun tidak bisa mencampuri. "(Kalau) koordinasi dan supervisi, itu bisa," kata dia.
Di sisi lain, pakar pemerintahan dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Asep Warlan memandang, nota kesepahaman antara Kemendagri, Polri dan Kejaksaan soal aduan korupsi di daerah, berpotensi menimbulkan adanya kongkalikong di antara pelaku, Aparat Intern Pemerintah (APIP) dan polisi.
Karena itu, menurut Asep, KPK perlu dilibatkan dalam memeriksa pejabat pemerintahan yang terindikasi berbuat korupsi. Keterlibatan KPK dibutuhkan sebagai bentuk pengawasan ekternal di luar APIP, dan untuk menjalankan fungsi supervisi.
"Misalnya ketika APIP bekerja, APIP mengadakan rapat, undang KPK benar enggak itu. Jangan-jangan nanti kesalahan tadi ditutupi dengan cara administrasi. Jadi perlu pengawasan eksternal di luar APIP," tutur dia.