Ahad 04 Mar 2018 02:45 WIB

Dengan Ayat Alquran Muslim Misali Selamatkan Gurita

Bahasa-bahasa nirlaba ataupun 'berkelanjutan' justru membuat ketidakpercayaan

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Joko Sadewo
Gurita
Gurita

REPUBLIKA.CO.ID,  ZANZIBAR — Perompak gading, pedagang budak, dan naturalis sama-sama telah lama mencari Kepulauan Zanzibar. Sebuah kelompok pulau yang menyimpan keanekaragaman hayati yang berada di lepas pantai Tanzania di Afrika Timur.

Salah satu pulau di daerah itu, Misali, dikelilingi terumbu karang sepanjang enam mil. Kehidupan bawah lautnya dipenuhi hewan langka, seperti, kura-kura penyu sisik, rubah terbang, kepiting kelapa, dan banyak gurita.

Dilansir dari The Atlantic pada Sabtu (3/3), pulau ini sangat istimewa bagi umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk Zanzibar. Pulau itu berbentuk air mata, yang pantai utara menghadap ke Makkah, seperti sebuah tikar. Faktanya, Misali dalam bahasa Kiswahili setempat, berarti sajadah.

Penduduk Misali generasi Muslim menangkap gurita untuk makan selama berabad-abad. Namun, penangkapan berlebih, perubahan iklim, dan eksplorasi minyak yang dimulai dalam beberapa tahun terakhir, mengancam ekosistem.

Populasi gurita menurun drastis. Peraturan pemerintah tidak banyak mengurangi masalah. Maka, beberapa warga memutuskan untuk mencoba strategi yang berbeda, yakni menarik kesadaran masyarakat Islam dan menggunakan ayat-ayat Alquran untuk mempromosikan konservasi.

Seorang petugas lapangan di Jaringan Masyarakat Pesisir Mwambao, Ali Said Hamad mengisahkan, Jaringan Masyarakat Pesisir Mwambao mulai menggunakan strategi keagamaan di beberapa desa pada 2016. Kampanyenya, masyarakat harus menggunakan sumber daya alam dengan cara yang bijaksana.

"Itu sebabnya ada mizan-kata Arab yang berarti seimbang, tapi seimbang dalam arti keberlanjutan," ujar Hamad.

Sejak 2016, Mwambao telah membantu desa shehia, atau komite perikanan, dengan menutup 436 hektar lahan perikanan dengan interval tiga bulan per tahun, untuk memungkinkan populasi gurita mulai beregenerasi. Beberapa penutupan bertepatan dengan Ramadhan, saat nelayan merasa kurang antusias masuk ke air.

"Karena ketika air masuk ke telinga dan hidung anda, berarti anda berbuka puasa," kata koordinator negara di Mwambao Ali Thani.

Ketika daerah tersebut dibuka kembali menjelang akhir Ramadan, penduduk desa bisa menjual gurita dan membeli pakaian untuk anak-anak menjelang perayaan Idul Fitri.

Thani mengatakan ‘nirlaba' dan kata-kata asing seperti ‘keberlanjutan' dapat membangkitkan ketidakpercayaan dalam populasi. Namun, tidak dengan Alquran.

"Kami berkata, 'Bukan dari Eropa, itu ada dalam iman anda. Itu ada dalam agamamu. Sudah lama sekali," kata Thani.

Meskipun data kuantitatif sulit didapat, Thani mengatakan bukti anekdotal menunjukkan usaha regenerasi gurita itu mendapat hasil yang bagus. Saat ini, gurita lebih berat, biasanya tumbuh dua kali ukuran yang mereka gunakan sebelum strategi keagamaan mulai berlaku.

"Kami meninggalkan gurita 1 kg dan sekarang mereka menemukan yang (berukuran) 2 hingga 2,5 kg," kata dia.

Pengalaman masyarakat Mwambao menggunakan etika lingkungan Islam untuk memperkuat pesan konservasi pernah dilakukan beberapa tahun lalu. Tepatnya, pada 1990an, ketika metode penangkapan ikan ilegal seperti racun dan dinamit mengancam stok ikan Misali.

Hamad dan Thani adalah pegawai sebuah organisasi nonpemerintah yang disebut CARE International. Mereka bekerja dengan para ulama dan nelayan untuk mempromosikan konsep khalifah, atau penatalayanan lingkungan, membuat Misali menjadi lokasi contoh terdokumentasi pertama tentang kemitraan antara LSM sekuler dan ulama Muslim.

Di masa lalu, mencampuradukkan politik dan agama telah memfasilitasi eksploitasi massal sumber daya alam di bekas koloni seperti Zanzibar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan kitab suci untuk menggairahkan dan melibatkan masyarakat dalam aktivisme hijau telah lepas landas.

Ensiklik Paus Fransiskus pada 2015, Laudato si, menekankan pembangunan berkelanjutan, sementara risalah lingkungan Yahudi, Sikh, Hindu, dan Budha meluncurkan komitmen serupa.

Ketika, pada April 2016, 195 negara menandatangani Perjanjian Paris, keberhasilan kesepakatan tersebut dikreditkan sebagian kecil pada organisasi berbasis agama yang melakukan lobi di balik layar.

"Di Zanzibar, menyeimbangkan keberlanjutan dan kelangsungan hidup ekonomi dapat terasa seperti sebuah pertempuran yang berat," kata direktur kebijakan di Kementerian Darat, Air, Energi, dan Lingkungan Zanzibar, Aboud Jumbe.

Orang-orang sadar terhadap hal-hal yang berubah di sekitar mereka, misalnya, para nelayan menyadari adanya stok pengeringan di terumbu karang, petani sadar adanya perubahan hujan.

Terlepas dari masalah itu, pemerintah mengontrak RAK Gas, sebuah perusahaan yang berbasis di UAE, untuk mengeksplorasi minyak dan gas tahun lalu. Dalam menghadapi ledakan populasi, dan tingkat kemiskinan di atas 50 persen, Jumbe mempertanyakan jangkauan para imam.

"Masyarakat lokal di negara itu yang cukup banyak berada di garis depan adaptasi konservasi dan (adaptasi perubahan iklim), apa yang dapat mereka lakukan dalam menghadapi agenda pembangunan yang sangat agresif itu," tutur dia.

Negara-negara Teluk seperti negara-negara UEA-Muslim yang dibiayai oleh keuntungan minyak dan gas-tidak dengan murah hati mendukung organisasi nirlaba yang mempromosikan etika lingkungan Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement