REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sapto Andika Candra/Wartawan Republika.co.id
Dalam berbagai kesempatan ceramahnya, Ustaz Abdul Somad kerap menyebut nama Inyiak Canduang, seorang ulama bernama asli Syekh Sulaiman Ar Rasuli. Ustaz Somad yang merupakan lulusan Al Azhar Mesir dan Darul Hadist Maroko itu pun menceritakan bahwa Inyiak Canduang merupakan ulama yang berguru langsung kepada Mufti Mazhab Syafii di Mekkah pada awal abad 20 Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi.
Setelah pulang ke Bukittinggi, Inyiak Canduang mendirikan pesantren di Canduang, Bukittinggi Itulah asal muasal panggilan Inyiak Canduang bagi Syekh Sulaiman Ar Rasuli. Beberapa waktu kemudian, Inyiak Candung mendirikan organisasi Islam bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
"Salah satu murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi bernama Syekh Sulaiman Ar Rasuli pulang ke Bukittingi mendirikan pesantren di Canduang, dia pun dipanggil Inyiak Canduang," kata Ustaz Abdul Somad dalam sebuah ceramahnya belum lama ini.
Ternyata, sosok Inyiak Canduang yang kerap diceritakan oleh Ustaz Abdul Somad tidak hanya seorang ulama. Tetapi, dia adalah pejuang kemerdekaan Indonesia asal Sumatra Barat.
Karena itulah, saat ini masyarakat Sumatra Barat tengah mengajukan gelar pahlawan nasional bagi Inyiak Canduang ke pemerintah pusat. Salah satu upaya itu adalah mengadakan sebuah diskusi yang diadakan di DPRD Provinsi Sumatra Barat dengan mengundang para sejarawan dan perwakilan pemerintah daerah.
Sejumlah alasan kuat yang mendukung pemberian gelar pahlawan nasional kepada Inyiak Canduang dipaparkan. Kepala Program Studi Magister Ilmu Sejarah FIB Universitas Andalas, Nopriyasman, meyebutkan bahwa paling tidak ada enam alasan yang menguatkan tingkat kepantasan Inyiak Canduang bergelar pahlawan nasional.
Pertama, ujarnya, Inyiak Canduang sejak awal menanamkan konsep bahwa memajukan bangsa dimulai dari pendidikan. Sejak muda Inyiak Canduang sudah aktif mengajar pendidikan agama Islam dari surau ke surau. Mulai tahun 1908 di Surau Baru yang terletak di Pakan Kamih, Lubuak Aua, Agam, Inyiak Canduang mengenalkan sistem halaqah dalam pengajarannya hingga tahun 1928. Rutinitasnya mengajar kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI).
"Bagi Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, agama Islam adalah dasar penting dalam memajukan martabat bangsa," ujar Nopriyasman.
Alasan kedua, lanjutnya, adalah temuan bahwa aktivitas politik Inyiak Canduang sudai dimulai sejak masa kolonial, ketika ia menjadi pengurus dan ketua anak cabang Syarikat Islam (SI) di Baso, Agam. Nopriyasman mencatat, meski Inyiak Canduang dianggap sebagai tokoh yang beraliran 'tua', namun dalam praktiknya sosok Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menunjukkan pandangannya yang moderat dan mampu menggelorakan semangat ulama beraliran lebih muda.
"SI memiliki peran dalam membidani kebangkitan nasionalisme Indonesia dan Inyiak Canduang ikut terjun di dalamnya," jelas Nopriyasman.
Sementara itu alasan ketiga yang mendukung pemberian gelar pahlawan nasional, bahwa Inyiak Canduang telah banyak memberikan masukan dalam pembenahan pemerintahan dan strategi pejuang dalam berhadapan dengan Belanda. Alasan keempat, Inyiak Canduang memiliki sumbangan pemikiran dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan perkembangan negara pascarevolusi. Beberapa masukan yang diberikan termasuk kelayakan seseorang dalam memimpin negara, penegakan keadilan, dan pemerataan pembangunan.
Inyiak Canduang juga tak bosan mengingatkan masyarakat akan pentingnya menerapkan nilai-nilai adat dan budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkat pesannya yang disampaikan secara kontinyu di berbagai kesempatan termasuk surat kabar, maka ungkapan 'Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah' menjadi populer sebagai identitas orang Minangkabau.
"Kelima, sosoknya sebagai ulama besar hingga akhir hayat mampu menjadi pengayom umat. Ia berperan sebagai Qhadi, Ketua Mahkamah Syariah, anggota Konstituante," ujar Nopriyasman.
Alasan terakhir, Inyiak Canduang disebut meninggalkan warisan melalui tulisan-tulisannya, baik berupa buku atau artikel di surat kabar. Karya Inyiak Canduang juga diyakini memberi pengetahuan tentang berbagai nilai dan ketajaman analisis yang menyangkut praktik agama dan kemasyarakatan.
Sepak terjang Inyiak Canduang dalam perjuangan menentang penjajahan juga tak sedikit. Tahun 1932 Inyiak Canduang menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda soal ordonisasi sekolah liar. Inyiak Canduang juga membangun kepanduan Al-Anshar pada tahun 1939 dan menentang politik bumi hangus Belanda pada tahun 1942. Tahun 1943, Inyiak Canduang menjadi Ketua Umum Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MITM) serta menjadi salah satu pendiri Lasykar Muslimin Indonesia (LASYMI) pada tahun 1947.
Inyiak Canduang wafat pada tanggal 1 Agustus tahun 1970 dalam usia 99 tahun di Candung. Pada saat itu, Gubernur Sumatera Barat Harun Zein memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah dan di depan rumah masyarakat.
Ketua DPRD Provinsi Sumatra Barat Hendra Irwan Rahim menyatakan dukungannya terhadap usulan gelar pahlawan nasional untuk Inyiak Canduang. Menurutnya, sebagai seorang tokoh besar yang telah menunjukkan kiprahnya pada masa pergerakan, Inyiak Canduang berhak untuk mendapatkan pengakuan. Ia juga meminta pemerintah pusat merespons desakan masyarakat Minangkabau untuk menjadikan Inyiak Canduang sebagai pahlawan nasional.
Senada dengan Hendra, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno (IP) juga mendukung penuh rencana pengangkatan Inyiak Canduang sebagai pahlawan nasional. IP berjanji untuk segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk segera mengkaji dan mempertimbangkan desakan ini.
"Kami akan memberikan dukungan agar proses pengusulan gelar pahlawan ini bisa disetujui oleh pemerintah pusat secepatnya karena seharusnya gelar pahlawan nasional untuk Inyiak Canduang sudah dari dulu diberikan," katanya.