REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas (moratorium sawit) harus memberikan kepastian bagi dunia usaha dan investasi. Inpres Moratorium Sawit tidak boleh justru menakutkan investor. Sebab, saat ini pemerintah sedang mendorong masuknya investasi dan peningkatan ekspor.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, regulasi yang dibuat pemerintah banyak yang tidak sinkron dalam rangka mendorong investasi.
Di sektor perkebunan kelapa sawit, Bhima menilai, kebijakan moratorium sawit dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71/2014 jo PP Nomor 57/2016 (PP Gambut) merupakan regulasi yang bisa menghambat investasi.
“Padahal, kita tahu bahwa investasi di sektor kelapa sawit memerlukan dana yang cukup besar. Kita juga eksportir besar di mana kita bersama Malaysia menguasai sekitar 90 persen pasar minyak sawit dunia. Sawit juga sebagai penyumbang devisa terbesar,” kata Bhima di Jakarta, kemarin.
Bhima menilai, kebijakan presiden yang memerintahkan kementerian melakukan deregulasi merupakan langkah yang tepat dalam rangka mendorong investasi. Namun di tengah upaya tersebut, pemerintah malah membuat inpres moratorium sawit.
“Saya melihat terjadi ketidaksinkronan. Kalau keridaksinkronan ini dilanjutkan, maka nanti efeknya investasi dan ekspor tidak bisa optimal, serta cadangan devisa bisa terganggu,” katanya.
Harusnya, lanjut Bhima, sebelum mengeluarkan moratorium, pemerintah hendaknya melakukan kajian terhadap dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, baik secara ekonomi maupun dampak terhadap penyerapan tenaga kerja.
Bhima mengingatkan, pemerintah tidak boleh membuat regulasi yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, hal itu akan mengakibatkan ketidakpercayaan investor yang akan masuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Kebijakan moratorium ini dipastikan bisa menghambat investasi karena sawit merupakan sektor yang strategis bagiperekonomian nasional,” katanya.
Terkait komoditas strategis, seharusnya pemerintah memberikan banyak insentif. Selain itu, kalau ada hambatan, seharusnya pemerintah memberikan bantuan. Namun, sikap pemerintah terhadap sawit ini sebaliknya.
Di kala terjadi hambatan ekspor, para pelaku usaha sawit disuruh menghadapi sendiri hambatan tersebut. Seharusnya, kata Bhima, pemerintah menempatkan diplomat dagang yang mumpuni untuk menyelesaikan hambatan dagang tersebut. Kondisi seperti inilah yang dilakukan negara lain dalam memperlakukan komoditasnya yang dianggap strategis.
“Kalau ini kan tidak. Di kala sawit menghadapi kendala dagang, pemerintah membiarkan, malah disuruh menghadapi sendiri. Sawit ini insentifnya kurang, tapi malah ditambah moratorium,” katanya.
Hal senada dikatakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ekonomi Syariah, Universitas Airlangga (Unair), Imron Mawardi. Menurut Imron, moratorium sawit tidak akan menyelesaikan masalah. Persoalan lingkungan dan perizinan perkebunan kelapa sawit tidak perlu diselesaikan melalui moratorium.
“Moratorium tidak mendorong investasi dan juga tidak akan menyelesaikan masalah-masalah yang jadi alasan dilakukan moratorium,” katanya.
Seharusnya, kata Imron, pemerintah memberikan berbagai insentif agar investasi bisa masuk. Sebab, investasi dan ekspor sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Nah, sektor perkebunan sawit ini kan menjadi andalan Indonesia untuk mendongkrak ekspor yang sangat dibutuhkan negara,” katanya.
Pemerintah, Imron melanjutkan, seharusnya juga perlu melobi negara-negara yang menerapkan hambatan perdagangan sawit, terutama dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.