REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ahad (4/3) memenangkan gugatan Partai Bulan Bintang (PBB) atas sengketa hasil verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2019 atas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemenangan PBB merupakan kekalahan kali keempat dalam empat bulan terakhir di berbagai sengketa Pemilu.
Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago melihatnya sebagai alarm bahaya untuk KPU tersebut. Menurut Pangi, gugutan yang dimenangkan PBB menjadi pelajaran penting bagi KPU.
Mereka harus mulai berhati-hati, padahal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) saja belum dimulai, tapi sudah mulai banyak kejanggalan dan kekalahan karena gugutan. "Oleh karena itu, ini saat dan kesempatan terakhir bagi KPU untuk netral, objektif dan profesional, jangan coba coba partisan, enggak bakal selamat, jaga kualitas pemilu kita," tegas Pangi, saat dihubungi melalui telepon, Senin (5/2).
Kemudian, KPU juga harus bisa menahan diri dari tawaran dan membuktikan, mereka tidak bisa dibeli. Sehingga dapat menepis isu miring jual beli suara yang selama ini berkembang.
Maka, kata Pangi, saat inilah bagi KPU untuk kembali membangkitkan kepercayaan publik. Namun, Pangi meminta, agar masyarakat juga tetap memiliki asas praduga tak bersalah terhadap KPU.
"Sejauh ini kepercayaan publik terhadap KPU cukup bagus tinggal untuk terus membangun trust building," terang alumni ilmu politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia itu.
Hanya saja, lanjut Pangi, apabila fenomena ini terus terulang, maka sangat tidak menutup kemungkinan KPU mengalami distrust tingkat tinggi. Bahkan akibatnya, berpotensi chaos akibat KPU yang terindikasi dan diduga mulai bermain.
Maka dengan demikian, Komisioner KPU mulai dipertanyakan independensi dan profesionalnya. Bagaimana tidak, PBB tidak diloloskan padahal sudah ada bukti yang kuat bahwa PBB memenuhi syarat. Sehingga hal yang wajar jika Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra ingin mempidanakan komisioner KPU yang diduga bermain politik praktis.
"Tapi KPU juga tidak bisa kita tuduh sarempangan, tanpa ada alat bukti. Tidak boleh menuduh berdasarkan asumsi, persepsi dan penilaian sendiri, harus ada cukup kuat, harus ada praduga tak bersalah," tutur Pangi.
Selanjutnya, Pangi menjelaskan, sampai saat ini belum ada pengamat mempopuliskan istilah mitigasi bencana politik. Apakah, sambungnya, bisa mendeteksi dan mengantisipasi kemungkinan terjadi pergesekan dan pergelokan yang bisa berimplikasi pada instabilitas politik.
Pangi kembali menegaskan bahwa ini sinyal alarm yang sangat serius bagi KPU. Sehingga pilkada 2018 menjadi barometer (determinan) pilpres dan pileg. "Wajar muncul seun-seun (kecurigaan) politik terhadap institusi KPU dan komisionernya karena multi player effeck, banyak aktor dan kepentingan politik besar ada di lembaga penyelenggara KPU," tutup Pangi.