Senin 05 Mar 2018 14:23 WIB

Inggris dan AS Minta Rusia Hentikan Kekerasan di Ghouta

Rezim Suriah harus bertindak sekarang untuk menghentikan kekerasan di Ghouta.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Kelompok gerilyawan Suriah Failaq al-Rahman saat baku tembak dengan pasukan pemerintah di Damaskus, Suriah. Kebanyakan gerilyawan di Ghouta berasal dari kelompok tersebut.
Foto: Failaq al-Rahman, via AP
Kelompok gerilyawan Suriah Failaq al-Rahman saat baku tembak dengan pasukan pemerintah di Damaskus, Suriah. Kebanyakan gerilyawan di Ghouta berasal dari kelompok tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan pembicaraan via telepon pada Ahad (4/3). Keduanya membahas situasi dan krisis di Ghouta Timur, Suriah.

May dan Trump sepakat Rusia dan Suriah bertanggung jawab atas bencana kemanusiaan yang terjadi di Ghouta Timur. "Bahwa tanggung jawab yang luar biasa atas penderitaan yang memilukan terletak pada rezim Suriah dan Rusia," kata pemerintah Inggris dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Anadolu Agency.

May dan Trump juga sepakat Rusia dan pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh terhadap rezim Suriah harus bertindak sekarang untuk menghentikan kampanye kekerasan mereka dan melindungi warga sipil. Ghouta Timur merupakan sebuah wilayah yang terletak di dekat ibu kota Suriah, Damaskus. Selama lima tahun terakhir, daerah ini dikepung pasukan pemerintah karena dianggap sebagai sarang kelompok pemberontak.

Selama dua pekan terakhir, pasukan Suriah dan Rusia membombardir Ghouta Timur dengan serangan udara. Tak hanya meluluhlantakkan bangunan, serangkaian serangan itu pun telah menyebabkan jatuhnya korban sipil. Sekitar 700 orang dilaporkan telah tewas akibat serangan pasukan Suriah dan Rusia.

Hal ini tak pelak memicu kritik dan desakan dunia internasional. Mereka meminta Suriah dan Rusia menghentikan serangan serta memberikan akses penyaluran bantuan kemanusiaan ke Ghouta Timur.

Presiden Rusia Vladimir Putin merespons permintaan dan desakan tersebut dengan memerintahkan dilakukannya gencatan senjata selama lima jam, dimulai sejak pukul 09.00 pagi. Putin mengatakan, selain untuk memberi akses bantuan kemanusiaan, gencatan senjata ini juga bisa dimanfaatkan penduduk sipil meninggalkan daerah yang dikepung tersebut.

Namun gencatan senjata yang hanya berlangsung selama lima jam sehari dikritik berbagai organisasi kemanusiaan internasional. Menurut mereka, waktu tersebut tak akan cukup untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Konflik sipil Suriah telah berlangsung selama tujuh tahun. Konflik ini telah menyebabkan sekitar 400 ribu penduduk Suriah tewas dan lebih dari 10 juta lainnya mengungsi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement