REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --
Ibnu Hazm diakui sebagai intelektual yang berkontribusi dalam banyak bidang keilmuan. Ia dikenal sebagai ahli fikih, hadis, teologi (kalam), sejarah, dan sastra. Dia juga aktif dalam politik praktis. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya.
Lahir di Kota Cordoba Spanyol pada akhir Ramadhan 384 H (7 November 994 M), pria ini tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat.Ayahnya, Ahmad, adalah seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur dan putranya, Al-Muzaffar.Kendati demikian, kemewahan hidup yang dijalani tidak menjadikannya lupa diri dan sombong. Sebaliknya, ia dikenal sebagai seorang yang baik budi pekertinya, pemaaf dan penuh kasih sayang.
Sebagai seorang anak pembesar, Ibnu Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Alquran, syair, dan tulisan indah Arab (khat). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin Ali Al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur.
Ketika dewasa, Ibnu Hazm mempelajari bidang ilmu lainnya seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, ilmu jiwa, dan juga logika. Ilmu yang terakhir ini membuatnya pandai berargumentasi. Sejumlah karyanya banyak menunjukkan kebiasaannya dalam beradu argumentasi.
Hal itu terlihat dalam al-Fashl fil Milal wal Ahwa wan Nihal. Kitab Izhar Tabdilil Yahud wan Nashara(Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani)juga menunjukkan hal sama. Dalam buku kedua, Ibnu Hazm banyak mengutarakan argumentasinya tentang asal usul , ciri khas, dan perbedaan kedua agama samawi tersebut.
Ada nasihatnya yang terkenal ditujukan kepada para pencari ilmu. "Jika Anda menghadiri majelis ilmu, maka niatkanlah untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala. Janganlah merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, kemudian dimanfaatkan untuk mencaricari kesalahan pengajar dan menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang tercela, yang mana orangorang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam menuntut ilmu selamanya,'' pesan Ibnu Hazm.
Kemampuannya berdebat dan penguasaannya terhadap sejumlah ilmu pengetahuan menarik hati pemerintah Andalusia pada waktu itu. Ibnu Hazm kemudian diangkat menjadi menteri pada era kepemimpinan Khalifah Abdurrahman V Al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III Al-Mu'tamid (1027-1031 M).
Intelektual Islam ini wafat di Manta Lisham pada 28 Sya'ban 456 H bertepatan pada tanggal 15 Agustus 1064 M. Ketika dia tutup usia, masyarakat setempat hanyut dalam kesedihan, karena merasa kehilangan alim yang menjadi rujukan dalam berbagai bidang keilmuan.Bahkan, Khalifah Mansur Al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid, termenung menatap kepergian Ibnu Hazm, seraya berucap, "Setiap manusia adalah keluarga Ibnu Hazm."
(Baca: Adab Berdebat)