Senin 05 Mar 2018 23:38 WIB

KPK Bantah Tuduhan Fredrich Soal Sprindik Palsu

KPK tegaskan sprindik itu asli sah dan berupakan bagian dari proses penyidikan

Terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik, Fredrich Yunadi
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik, Fredrich Yunadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah tuduhan advokat Fredrich Yunadi yang menyebutkan bahwa ada Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi dan Surat Perintah Penyidikan palsu. Fredrich merupakan terdakwa merintangi penyidikan perkara korupsi KTP-elektronik (KTP-el) atas nama tersangka Setya Novanto.

"Saya kira mengada-ada, sprindik itu asli, sah, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penyidikan yang terjadi kemarin," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2).

Ia didakwa bekerjasama dengan dokter dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo untuk menghindarkan Ketua DPR Setya Novanto diperiksa dalam perkara korupsi KTP-el. "Sahnya itu dilihat dari pihak yang mengeluarkan perintah itu memiliki wewenang dan orang-orang yang ada di dalam sprindik tersebut adalah penyidik yang memang ditugaskan," kata Febri.

Menurut Febri, jika Fredrich menuduh bahwa ada nama-nama tertentu yang belum bisa menjalankan tugas karena ada halangan seperti sakit tentu saja itu tidak kemudian membuat keseluruhan sprindik itu tidak sah. "Saya kira alasan itu mengada-ada dan sebenarnya banyak alasan mengada-ada lainnya yang sudah disampaikan dan ditolak oleh hakim juga," ungkap Febri.

Febri menyatakan bahwa seharusnya Fredrich fokus pada substansi perkara agar proses persidangan dapat berjalan baik. "Jadi, mari kita fokus pada substansi perkara agar proses persidangan ini berjalan secara lebih baik, hak-hak terdakwa juga dihormati tetapi kepentingan publik yang luas agar proses sidang itu menemukan kebenaran materil juga tercapai," tuturnya.

Fredrich didakwa dengan pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 KUHP. Febri pun mengingatkan bahwa Pasal 21 tersebut ancaman maksimalnya adalah 12 tahun penjara sehingga diharapkan dapat kooperatif mengikuti proses persidangan.

"KPK tentu akan menghitung faktor-faktor yang meringankan atau memberatkan, kalau tidak ada sikap kooperatif dengan proses hukum, tidak tertutup kemungkinan tuntutan seberat-beratnya akan diajukan diproses persidangan," kata Febri.

Namun, kata dia, tentu Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempertimbangkan apa alasan yang meringankan ataupun apa alasan yang memberatkan dari terdakwa.

"Kami ingatkan kembali kepada terdakwa, seluruh terdakwa sebenarnya dalam proses hukum agar kooperatif dengan proses peradilan ini soal terbukti atau tidak itu nanti akan kami uji di proses persidangan dan hakim akan menilai bukti-bukti yang diajukan KPK ataupun pihak terdakwa. Jadi, kalau keberatan silakan ajukan bukti tandingan," ujarrnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement